Langsung ke konten utama

(Part 5) Kau, Kenangan Buruk dan Petir



Gadis itu bersenandung ringan, menikmati lantunan lagu Don’t Say Goodbye dari CNBlue yang tak henti ia putar sedari tadi. Sebenarnya, hampir setahun ini, ia tidak pernah mendengar lagu lain selain lagu itu. Baginya, lagu itu adalah satu-satunya kenangan yang ditinggalkan pemuda itu. Ia sama sekali tidak punya foto wajah pemuda itu yang bisa ditatapnya setiap malam sebelum tidur. Bahkan namanya saja ia tidak tahu. Entah mengapa ia bisa tergila-gila pada pemuda itu.
Ia tersenyum ringan dan melangkah menuju sebuah bangku di pinggir jalan untuk menunggu taksi pulang. Bangku itu masih basah, hanya tersisa sedikit bagian ujungnya yang lembap, hasil dari perlindungan pohon di sebelahnya. Gadis itu tetap duduk di bangku itu, meskipun bagian yang didudukinya lembap. Hari sudah sore dan semburat jingga mulai memudar berganti gelap.
Gadis itu mendongak dan memandangi langit itu lamat-lamat. Ia suka memandanginya, rasanya bebas dan tidak perlu memikirkan hiruk pikuk dunia ini. Namun ia paling suka langit sesudah hujan, tidak panas karena matahari belum sempat menggarang, namun juga tidak akan basah karena hujan sudah berhenti. Menenangkan. Dan satu-satunya bayangan yang muncul saat memandangi langit adalah pemuda itu.
Namun seketika, langit kembali gelap. Tanpa sadar, hujan kembali turun dan lebat, tanpa aba-aba. Gadis itu panik dan segera berteduh di bawah pohon di sampingnya, karena tak sempat lagi berlari untuk mencari tempat berteduh. Meskipun tak sepenuhnya terlindungi dari hujan, namun setidaknya ia tidak kebasahan.
“AAAAA”. Gadis itu spontan berteriak saat tiba-tiba petir muncul dalam hujan itu. Meskipun saat ini  ia telah mencintai hujan, namun ia masih ketakutan dengan petir, bahkan kini ketakutannya menjadi lebih parah. Ia menutup telinganya, dan terduduk seketika di bawah pohon itu. Ia menangis tersedu-sedu saking takutnya. Badannya gemetaran hebat. Hampir setiap kali hujan lebat dan disertai petir, ia begitu. Gadis itu menggigit bibirnya, dan menutup telinganya lebih kuat. Namun, sekuat apapun ia menutup telinganya, bunyi petir itu tetap terdengar. Bertubi-tubi. Tiba-tiba kepalanya pusing, dan semua bayangan-bayangan itu kembali merasuki pikirannya. Ia benci saat harus mengingat sesuatu yang tak bisa ia ingat dengan baik.
Gadis itu merapatkan kakinya sementara tangannya memegangi kepalanya erat. Ia masih terkejut dan menangis tersedu-sedu. Kali ini, ia sangat ingin hujan segera berhenti.
***
Gadis itu melangkah dengan santai. Ia mengayunkan tangannya ringan, membiarkan angin menyapu wajah dan menerbangkan rambutnya, yang hari ini ia biarkan tergerai. Ia selalu mengikat rambutnya kalau ke sekolah, namun hari itu adalah pengecualian. Senyum tak henti mengambang di wajahnya, karena hari itu adalah hari baik. Meskipun Naha mendung seperti biasa, namun hari itu ia merasa hangat.
“Tanggal 16 bulan depan adalah kelulusan. Datanglah ke taman belakang sekolah setelah upacara kelulusan selesai.”
Gadis itu masih mengingat dengan baik apa yang dikatakan pemuda itu, tepat di depan pagar rumahnya saat pemuda itu mengantarkannya pulang sebulan lalu. Dan pemuda itu benar, hari menyebalkan saat ia terlambat ke sekolah itu, memang menjadi hari yang tak terlupakan. Sejak saat itu, tak sedetik pun yang dilewatkan gadis itu dengan tersenyum dan memikirkan pemuda itu. Sampai-sampai Ibu Sumiyo mengira ia sakit, dan berniat membawanya pada seorang dukun. Gadis itu tersenyum geli mengingat kejadian itu. beruntung ia berhasil meyakinkan Ibu Sumyo bahwa dia tidak apa-apa.
Dan ini adalah satu bulan paling lama dalam hidupnya. Ia bersusah payah untuk mengalihkan perhatiannya dari pemuda itu dan menyibukkan dirinya, namun nihil. Ia bahkan sempat keluar beberapa kali bersama teman-teman sekelasnya, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya, demi membunuh waktu. Ia berusaha untuk tidur lebih cepat setiap malam, agar pagi lebih cepat datang, namun ia tidak pernah bisa tidur karena memikirkan pemuda itu. Dan malangnya ia lagi-lagi tak pernah melihat pemuda itu di sekolah. Bahkan bayangannya pun tidak, sekadar untuk melepas rindunya. Ia juga tak punya nomor telepon pemuda itu yang bisa dihubungi.
Pada masa sebulan itu juga siswa tingkat akhir di sekolahnya disibukkan dengan persiapan ujian akhir mereka dan masa ujian itu sendiri, hingga memang tak banyak dari mereka yang berkeliaran di luar jam sekolah. Alhasil, gadis itu menguatkan dirinya sendiri, bahwa hari itu akan segera tiba.
Penantian gadis itu bukannya tidak beralasan. Selama sebulan itu juga, lebih tepatnya sejak hari saat mereka berdua bolos ke sungai di bawah jembatan itu, gadis itu telah bertekad untuk menyatakan perasaannya. Dan ia merasa seperti memenangkan lotre saat pemuda itu sendiri yang menawarkan untuk bertemu, hingga segala sesuatunya lebih mudah baginya. Ia tak perlu lagi kesulitan mencari waktu yang tepat, kemudian harus mencari pemuda itu untuk memberitahunya.
Gadis itu telah sampai ke taman belakang sekolah. Tempat itu sepi, hanya ada dirinya dan sekelompok burung gereja yang menari-nari. Ia bersandar ke gedung di belakangnya, dan memain-mainkan kakinya.
Pemuda itu, akan datang sebentar lagi.
 Pikiran itu sukses membuat senyum gadis itu mengambang beserta kupu-kupu yang berterbangan di perutnya.
Sebenarnya, sedari tadi pun jantung gadis itu tak karuan. Menyatakan perasaan dan menunggu jawabannya seperti mengikuti undian berhadiah. Hanya ada dua kemungkinan, nomormu akan keluar atau tidak sama sekali. Menyatakan perasaan seperti berharap dan putus asa sekaligus akan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin timbul. Menyatakan perasaan seperti menebak langit abu-abu, apakah akan turun hujan atau hanya sekadar mendung.
                Bagi gadis itu, pemuda yang tidak ia ketahui namanya itu tidak perlu memberikan jawaban. Satu-satunya harapannya adalah, pemuda itu akan memberikan kancing kedua seragamnya untuk gadis itu. Di Jepang, ada tradisi pemberian kancing kedua sebagai bentuk pernyataan perasaan dari seorang pemuda kepada gadis yang disukainya, pada upacara kelulusan. Gadis itu sangat mengidamkan tradisi itu juga terjadi padanya, bahkan sejak ia berada di Indonesia. Dan ia merasa, hari ini adalah waktu yang mungkin akan mewujudkan impiannya itu.
Sudah hampir satu jam gadis itu berdiri di sana, namun pemuda itu tak juga menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Setahunya, upacara kelulusan sudah selesai sebelum ia datang ke tempat ini. Ia sudah memperkirakan waktu kedatangannya agar bisa segera bertemu pemuda itu.  Kalaupun ada foto-foto atau ajang tanda tangan sesama mereka rasanya tidak akan memakan waktu selama itu.
Gadis itu menghembuskan napasnya sembari menendang-nendang kerikil-kerikil di depannya. Ia tak bisa masih diam di sini. Kalau pemuda itu belum datang juga, maka ia yang harus mencari sendiri. Tidak menutup kemungkinan kalau pemuda itu lupa akan apa yang dikatakannya. Apalagi ini sudah sebulan sejak ia mengucapkannya.
Ia kemudian berlari ke gedung sekolahnya dan segera menaiki tangga menuju aula. Namun tepat di tangga terakhir, gadis itu menghentikan langkahnya. Seketika pikiran buruk merasukinya. Ia tiba-tiba teringat kejadian pemuda itu yang pura-pura tidak mengenalnya, padahal sehari sebelumnya ia mengantarnya pulang ke rumah. Ia takut kalau ketakutannya bahwa pemuda itu lupa akan pertemuan mereka hari ini terbukti.
Gadis itu refleks menggelengkan kepalanya, menarik napas panjang dan meyakinkan dirinya bahwa itu tidak akan terjadi lagi. Setidaknya, ia akan membuat itu tidak akan terjadi lagi, dengan memulai interaksi lebih dulu. Gadis itu kembali menghembuskan napasnya, kemudian melanjutkan langkahnya. Ia berbelok, dan berjalan lamat-lamat, masih dengan menerka-nerka ada apa sesungguhnya.
Sesampainya di aula sekolah, ia langsung bisa menangkap sosok yang ditunggunya sedari tadi, masih di dalam aula. Dugaannya salah, aula itu masih saja ramai meskipun upacara kelulusan telah selesai. Gadis itu mendekatkan dirinya ke dekat pintu aula, melawan arus orang-orang yang satu per satu keluar dari sana. Dari ujung pintu, ia bisa melihat dengan jelas, bahwa pemuda itu masih sibuk melayani permintaan foto dari siswa perempuan yang ramai berkumpul di situ. Ia juga melihat dengan jelas, betapa pemuda itu menerima banyak bunga dan hadiah yang ditumpuknya begitu saja di tempat duduknya.
Gadis itu tanpa sadar mundur perlahan, menyandarkan kepalanya di samping pintu. Seketika ia merasa rendah diri, sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda itu sangat populer. Setidaknya dari antrean panjang siswa-siswa perempuan yang ada di dalam sana, benar-benar mengindikasikan betapa mereka telah menunggu cukup lama hingga akhirnya bisa bertatap langsung dengan pemuda itu.
 Ia kembali memandang ke lantai, menendang-nendang kakinya. Gadis itu sudah bertekad akan menunggu hingga aula kosong dan bertemu langsung dengan pemuda itu. Ia sudah bertekad untuk tidak bersembunyi lagi, dan kalaupun ia tidak mendapatkan jawaban apapun akan penasarannya selama ini, setidaknya ia sudah berusaha.
Tidak mendapatkan jawaban apa-apa baginya tetaplah sebuah hasil, meskipun mungkin tidak memuaskan. Ibarat hitung-hitungan panjang yang ketika diselesaikan ternyata hanya mendapatkan hasil nol. Itu lebih baik dibandingkan membiarkan hitung-hitungan itu begitu saja, lalu menerka-nerka jawabannya.
“Wah.. dia benar-benar tampan sekali”.  Gadis itu dikejutkan oleh dua orang siswi yang baru keluar dari aula. Bukannya langsung pergi, mereka malah berdiri di depan pintu, tak jauh dari gadis itu, kembali melihat ke dalam.
“Iya. Ternyata dia ramah, tidak seperti yang kita pikirkan,” ujar siswi yang lain.
                Gadis itu ikut melongok ke dalam aula, sedikit menjinjit karena jaraknya cukup jauh dengan pintu. Terlebih kedua siswi itu masih di sana. Seketika gadis itu paham siapa ‘dia’ yang mereka maksud. Pemuda itu.
                “Aku senang akhirnya bisa mendapatkan fotonya, meskipun dari jauh. Setidaknya, aku masih bisa memandangi wajahnya walaupun kabur.” Pandangan siswi itu beralih pada kamera digital yang dipegangnya. Wajahnya begitu sumringah dan senyumnya tak kunjung pudar.
                “Kau harus membaginya padaku!” pinta siswi yang satu lagi, sembari merebut kamera itu dari temannya.
                “Enak saja, aku kan sudah susah payah mengambilnya. Harusnya tadi kau juga mengambilnya sendiri,”
                “Seseorang menghalangi lensa kameraku tadi, jadi aku tidak mendapatkan apa-apa”
                “Itu masalahmu, bukan masalahku,” siswa yang punya kamera berbalik dan mulai berjalan meninggalkan pintu aula.
                “Hei, tak bisa begitu!” siswi yang satu lagi meraih bahu siswi berkamera hingga mereka berhadapan. Kini, posisi keduanya persis di hadapan gadis itu.
                “Kau tak tau kan, kalau sebenarnya dia pernah membantuku mengambilkan buku di perpustakaan?” tanya siswi itu sambil melipatkan tangannya ke dada.
                Deg. Gadis itu bisa merasakan jantungnya berdebar.
                “O ya? Aku sebenarnya juga menyembunyikan darimu bahwa dia pernah memayungiku pulang hingga ke depan rumah,” kata siswi berkamera, tak mau kalah. Kini tatapan keduanya sama-sama menantang.
                Perasaan gadis itu benar-benar berkecamuk. Bagaimana mungkin apa yang dikatakan kedua siswi di hadapannya ini persis sama dengan apa yang dialaminya? Sulit untuk percaya tapi ia juga tak punya satu pun alasan kenapa ia tak harus percaya.
                Gadis itu kembali mengalihkan pandangannya ke dalam aula, dan melihat pemuda itu masih belum beranjak dari tempatnya. Hanya saja, sekarang tak ada lagi kerumunan siswi-siswi. Hanya tinggal satu orang gadis di situ.
                “Jangan bohong! Dia tidak mungkin melakukan hal konyol seperti itu”
                “Kenapa? Kau iri?”
                Kedua gadis itu masih saling adu argumen, namun gadis itu tak lagi memerhatikan mereka. kepalanya kembali tertunduk dan menatap ujung sepatunya. Kini, keberaniannya sepenuhnya telah runtuh. Namun hati kecilnya masih ingin melihat dan bertemu pemuda itu. Lamat-lamat, gadis itu mulai mendengar rintik hujan turun.
                “Kancing kedua?”
Gadis itu kaget saat mendengar kedua siswi di hadapannya berteriak secara hampir bersamaan. Ia mendongakkan kepalanya dan turut tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Siswi perempuan terakhir yang berbicara dengan pemuda itu kini berada di antara kedua siswi perempuan tadi, tepat di hadapannya. Tangannya menengadah dan gadis itu bisa melihat dengan jelas apa yang sedang ia pamerkan. Sebuah kancing.
“Berhentilah membuang-buang energi. Kalian sudah lihat buktinya. Dia baru saja memberikannya padaku,” ujar siswi itu, tersenyum. Ia mengatupkan kembali tangannya, kemudian melangkah dengan sumringah.
“Kalau dia yang mendapatkannya, aku percaya,” kata siswi berkamera. Tangannya sibuk memainkan kameranya, dengan tatapan pasrah.
“Iya, siapa yang tak kenal dia. Naomi, si Cantik. Katanya, dia memang sudah lama dekat dengannya,” siswi yang satu lagi tertunduk lesu.
Gadis itu tak lagi mendengar apa yang mereka katakan selanjutnya. Dadanya terasa sakit dan ia sama sekali tak bisa berpikir jernih. Matanya terasa panas dan mulai berair. Sebelum pemuda itu keluar dari aula, gadis itu berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu. Air matanya sudah sepenuhnya berderai, seiring hujan yang makin lebat sore itu.
Gadis itu terus berlari, tak lagi memedulikan sekitarnya. Tanpa sadar ia sudah meninggalkan gerbang sekolah dan tetap berlari ke sembarang arah. Ia masih tetap menangis, tersedu-sedu. Sama sekali tak menyangka begitu pahitnya rasa patah hati. Badannya basah kuyup namun tetap saja hujan lebat itu tak mampu meluruhkan rasa sakitnya.
Langit semakin gelap dan hujan masih tetap lebat, sementara gadis itu masih tetap berjalan tak bertujuan. Tiba-tiba, petir menyambar dengan kerasnya.
“AAAAAA”. Gadis itu berteriak, dan terduduk di jalanan. Ia benar-benar benci bunyi petir. Hujan saja sudah membuatnya rusuh, apalagi petir. Apalagi dengan kondisi seperti ini.
Tanpa sadar, sebuah truk melintas tepat di hadapannya. Gadis itu sama sekali tidak mendengar bunyi klakson truk tersebut.
“Braaak..” truk itu menghantam tubuhnya. Lalu, gadis itu sama sekali tak merasakan apa-apa lagi. Darah segar mengalir dari kepala gadis itu. Larut bersama hujan yang jatuh ke jalanan.
***
Hujan sore itu perlahan-lahan mulai berhenti, namun gadis itu masih memegangi kepalanya. Takut kalau-kalau ada petir lagi. Tiba-tiba, sebuah tangan lain menurunkan tangannya. Gadis itu bisa merasakan kehangatan mengaliri tangannya saat disentuh tangan itu. Ia mendongak, dan menemukan sesosok pemuda  berjongkok di hadapannya. Pemuda itu tersenyum padanya. Tatapannya ramah, gadis itu bisa melihat lesung pipi di bawah bibirnya.
Gadis itu mengerutkan keningnya, sembari menatap pemuda itu lamat-lamat. Refleks, ia mengempiskan tangan pemuda itu, dan segera berdiri. Ia berlari ke arah jalan raya. Namun kepalanya masih terlalu pusing. Tanpa sadar, ia terjatuh. Tak sadarkan diri.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Book) Love, Stargirl by Jerry Spinelli

Buku ini didedikasikan bagi mereka yang belum bisa move on dari orang yang disukainya, meskipun telah hidup berjauhan. Tulisan ini mungkin tidak banyak mengulas tentang unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik buku ini . Karena aku ingin berbagi tentang sosok Stargirl dan ceritanya tentang move on . Buku ini adalah surat panjang Stargirl kepada Leo, yang ia tulis setiap hari. Lengkap dengan tanggal dan bulan kejadian. Stargirl menceritakan seluruhnya pada Leo tanpa ada yang ia sembunyikan. Hingga tidak ada batasan-batasan bab dalam buku ini. Persis seperti membaca buku harian. Apa yang ingin disampaikan Stargirl dalam suratnya adalah segala upaya yang dia lakukan untuk move on dari Leo. Bagaimana ia menyibukkan dirinya untuk melupakan Leo dengan bermain bersama Dootsie dan Alvina yang jauh lebih muda darinya, mengunjungi Betty Lou yang terkena agoraphobia, Mergie di kedai donatnya, atau Charlie yang setiap hari duduk di sebelah makam istrinya, Grace. Ia kembali

Dialog Rindu

“Aku merindukanmu” “Benarkah?” “Iya, aku selalu merindukanmu. Tidakkah kau merindukanku juga?” “Iya, aku merindukanmu,” “Lalu, kapankah waktu mengizinkan kita untuk saling melepas rindu?” “Sampai ujung jalan kita bertemu, bukankah jalan kita punya muara yang sama?” “Baiklah, aku akan menunggumu,” * “Aku merindukanmu” “Benarkah?” “Iya, aku selalu merindukanmu. Tidakkah kau merindukanku juga?” “Hmm..” “Mengapa kau diam? “Entahlah” “Bukankah harusnya kita menunggu waktu mengizinkan kita untuk saling melepas rindu?” “Aku rasa tidak” “Mengapa?” “Karena jalan kita telah berbeda, hingga ujung jalan kita tak lagi punya muara yang sama” * Kini merindukanmu adalah sesuatu yang tidak boleh lagi aku lakukan. Rasanya menyakitkan. Aku rindu namun tidak disambut rindumu. Kontras dengan apa yang terjadi dulu. Setiap aku rindu, kau juga akan rindu. Bahkan terkadang kau rindu tanpa ada rindu dariku. Itu menyenangkan. Dan malangnya, dulu adalah bagian dari

(Movie) Nada Sousou -2007

Synopsis Ini adalah kisah seorang anak laki-laki bernama Youta, yang harus mengalami pahit manis hidup saat dia masih terlalu dini untuk mencerna setiap kejadian yang terjadi dalam hidupnya. Ibunya menikah dengan seorang seniman, yang punya seorang anak perempuan bernama Kaoru. Sedari awal, ibunya telah menegaskan ia untuk menjaga Kaoru sebaik mungkin. Lalu mereka menjadi akrab dan keluarga kecil mereka hidup bahagia. Namun yang terjadi kemudian di luar dugaan. Sang ayah pergi meninggalkan keluarga tersebut, lalu si ibu menjadi stress dan sering mabuk. Pada akhirnya ibunya sakit parah dan meninggal dunia. Sebelum meninggal pun, ibunya tetap berpesan pada Youta untuk menjaga Kaoru. Youta kecil pun membawa Kaoru ke tempat neneknya di seberang pulau. Lalu mereka hidup di sana hingga akhirnya Youta kembali lagi ke kota pada umur 16 tahun dan bekerja keras. Ia putus sekolah dan berusaha mencari uang sebanyak mungkin agar adiknya bisa bersekolah lebih tinggi darinya. Hara