(Part 2) Kau, Teka-Teki dan Hujan Sore itu


            Sepertinya mendung kali itu persis yang diprediksi kebanyakan orang. Satu per satu tetesnya mulai membasahi bumi. Pelan dan ringan. Bunyinya lembut, seperti nyanyian yang menidurkan. Gadis itu masih memperhatikan tetes-tetes itu saling berpacu, siapa yang lebih dulu jatuh ke tanah. Seiring dengan itu pula, orang-orang yang lalu lalang mulai mempercepat jalannya agar tidak terkurung hujan. Ada juga yang memilih untuk mencari tempat berteduh, berjaga-jaga kalau hujan semakin lebat.
Sementara gadis itu menyeduh kopinya yang masih hangat. Aroma kopi itu, berpadu dengan sensasi pahit manisnya di kerongkongan adalah penenang yang baik di hujan sore itu. Kombinasi ketiganya kemudian mengantarkannya pada seseorang yang hingga saat ini masih dicarinya. Pemuda itu.
Kedatangan pemuda itu seperti hujan sore itu, tidak terlalu terburu-buru untuk membuat kaget karena telah memberikan tanda-tanda samar. Serupa mendung yang telah dipertunjukkan sebelum hujan datang. Namun tidak cukup waktu juga untuk mengurai apa yang sesungguhnya terjadi. Ibarat hujan yang tanpa disadarinya kini mulai lebat, tanpa ia sempat melihat proses perubahannya.
***
Seminggu sejak gadis itu memasuki sekolah barunya, ia mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia beruntung punya homestayer yang baik hati dan melayaninya dengan baik. Pasalnya, Sumiyo Miyama si pemilik rumah tidak punya anak perempuan, sementara anak tunggalnya telah bekerja di Tokyo. Ia bilang, ia sudah menganggap gadis itu sebagai anak kandungnya sendiri.
Ia juga sudah berkenalan dengan beberapa teman sekelasnya, tapi ia lupa satu per satu nama mereka. Gadis itu tipe yang cuek, dan sangat susah untuk menghapal nama orang baru sekaligus wajahnya. Namun ia bertekad untuk mengenali mereka semua, agar tidak diasingkan di tempat asing tersebut. Hal lain yang membuatnya gembira adalah, sudah seminggu pula, Naha tak dirundung hujan, meskipun langit tetap mendung dan cuaca dingin. Setidaknya ia tidak perlu berbasah-basah pergi dan pulang sekolah.
Tapi, sudah seminggu pula ia tidak melihat pemuda itu lagi. Ia diam-diam selalu curi-curi melihat ke tiap kelas yang dilewatinya, kalau-kalau ia bisa melihat bayangan pemuda itu, meskipun sejujurnya ia pun tak merekam wajahnya dengan baik. Namun nihil. Ia sebenarnya tidak ingin peduli pada pemuda itu, namun hati kecilnya tetap penasaran hingga bersikeras untuk menemukannya.
                Hari-hari berikutnya adalah hari yang berat bagi gadis itu. Para gurunya kini berlomba-lomba memberikan tugas, dan semuanya adalah tugas individu. Gadis itu harus mati-matian mengerjakannya sendirian, dan sebagai siswa pendatang sesungguhnya ia merasa kesulitan. Namun ia tidak ingin menjadikan itu sebagai pengecualian. Ia tidak ingin nilai-nilainya saat pulang ke Indonesia nanti hanya sebatas lulus.
                Karenanya, ia kini lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan sekolahnya. Individualitas di sekolahnya cukup tinggi, hingga jangan harap ia bakal menemukan segerombolan siswa perempuan duduk bersama-sama di satu sudut dengan buku menumpuk di meja, namun orang-orangnya malah sibuk bergosip. Sejujurnya, ia lebih menyukai kondisi demikian, karena ia pun adalah tipe penyendiri.
                Rasa penasarannya terhadap pemuda itu pun ikut luntur, karena memang ia tak punya waktu untuk itu. Kalaupun ia bertemu nanti, ia juga tidak tahu apa yang sebenarnya akan ia katakan. Mungkin itu memang hanya sebatas rasa penasarannya saja.
                Gadis itu berusaha menggapai-gapai buku Literatur Kuno yang terletak di bagian paling atas rak. Ia sudah bersusah payah menjangkaunya dari tadi, namun tetap saja tubuhnya tidak bisa jadi elastis tiba-tiba hingga bisa sampai pada posisi buku tersebut. Ia pun mendengus dalam hati, karena saking tingginya individualitas di sekolah ini, siswa lain yang dari tadi lalu lalang di sekitarnya mengambil buku, bahkan yang mengambil buku di lorong yang sama dengannya, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ingin membantu.
                Gadis itu akhirnya menyerah. Ia kembali ke tempat duduknya, dan malah memandangi jendela. Hujan mulai turun lagi. Namun ia sudah mulai terbiasa, dan sepertinya mulai menikmatinya. Asal tidak hujan lebat disertai petir, ia mulai belajar menyukainya.
                Pandangan gadis itu kemudian teralihkan karena tiba-tiba buku yang ia jangkau dengan susah payah kini ada di hadapannya. Ia menelusuri tangan yang menyodorkan buku itu padanya, dan hatinya langsung berdebar saat melihat pemilik tangan itu, yang tak lain adalah si pemuda yang ia cari selama ini.
                “Kalau ada kesulitan, harusnya kau minta bantuan,” paparnya seraya memasukkan tangannya ke dalam saku.
                “Jangan harap di sini ada yang berbasa basi untuk menawarimu bantuan,”
                Sebelum gadis itu sempat mengeluarkan kata-katanya, pemuda itu memamerkan lesung pipi tipisnya, dan lagi-lagi berlalu begitu saja.
***
                Gadis itu mendekap buku Literatur Kuno yang baru ia pinjam itu dengan erat. Ia memandangi langit dan belum menemukan tanda-tanda hujan akan berhenti. Padahal sudah setengah jam ia berdiri di pelataran sekolah itu, menunggu hujan reda. Ia mulai gelisah. Ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 5. Literatur Kuno adalah salah satu pelajaran tersulitnya, hingga ia ingin segera pulang ke rumah dan mempelajarinya dengan benar. Ia tak ingin menjadikan diam sebagai jawaban untuk Yamamoto Sensei besok hari, karena gurunya yang satu itu, sangat suka bertanya kepada siswa sepanjang jam pelajaran. Waktu pelajaran Literatur Kuno terakhir, ia sama sekali tidak bisa menjawab. Maka besok ia harus balas dendam.
                Gadis itu mendengus. Semakin lama ia menunggu hujan berhenti, semakin deras pula ia turun. Ia dan hujan memang tak pernah sejalan. Akhirnya gadis itu tak mau kalah pada hujan. Ia segera memasukkan buku yang sedari tadi dipegangnya itu ke dalam ransel, membulatkan tekadnya untuk menerjang hujan lebat itu. Beruntung, rumahnya tak begitu jauh dari sekolah. Tidak akan masalah jika basah-basah sekali ini saja, pikirnya.
                Baru satu langkah ia meninggalkan teras sekolah itu, kepalanya langsung basah diguyur hujan. Tapi ia tak punya pilihan lain dan tidak ingin mundur karena sudah terlanjur basah. Tepat saat gadis itu melanjutkan langkah keduanya, guyuran hujan di kepalanya terhenti seketika. Padahal hujan sama sekali belum berhenti. Ia mendongak dan menemukan kepalanya dinaungi oleh sebuah payung hitam. Ia menoleh ke belakang dan lagi-lagi menemukan tatapan ramah beserta lesung pipi tipis itu di hadapannya.
                “Kau cantik saat terkena hujan,” kata pemuda itu, ringan.
                Gadis itu menghela napas. Ia benar-benar bingung dengan pemuda itu. Selalu datang tanpa peringatan, dan membuatnya bertanya-tanya dalam setiap kemunculannya. Persis seperti hujan.
                “Aku.. mau pulang, permisi.” Gadis itu berbalik dan melanjutkan langkahnya. Ia sedang tidak ingin bermain-main dengan teka-teki yang selalu dibawa pemuda itu. Meskipun ia masih penasaran dengan sosok itu, tapi bukan saat ini saatnya. Pelajaran Literatur Kuno-nya lebih ingin diutamakan untuk dipikirkan.
                Gadis itu mempercepat langkahnya tanpa memedulikan lagi pemuda itu. Namun ternyata pemuda itu tetap mengikuti langkahnya, dan memayunginya. Gadis itu ingin sekali menoleh dan berbicara pada pemuda itu, namun ia mengurungkan niatnya. Ia tetap berjalan dengan langkah yang cepat, agar pemuda itu kewalahan dan berhenti mengikutinya. Ia lebih memilih pulang dengan basah-basah dibandingkan berjalan dipayungi dengan pikiran yang tak henti bertanya-tanya dan jantung yang kini berdegup lebih kencang.
Namun usaha gadis itu sia-sia, pemuda itu benar-benar memayunginya hingga ia sampai di depan rumahnya sekarang. Gadis itu menyudahi langkahnya dan berhenti, yang diikuti juga oleh pemuda itu. Ia menghela napas panjang kemudian berbalik. Kini, ia bisa melihat dengan jelas pemuda itu, yang sudah mau bersusah-susah memayunginya hingga saat ini. Namun lagi-lagi, selang beberapa detik pandangan mereka bertemu, gadis itu segera menunduk.
                “Aku.. tidak  tahu apa yang sebenarnya kau inginkan, hingga kau… mau berbaik hati padaku.. hari ini,” Gadis itu mengeluarkan kata-katanya dengan terbata-bata. Hal yang selalu terjadi saat ia mengatakan sesuatu pada orang yang baru bicaranya dengannya. Kepalanya tertunduk menatap sepatunya dan sepatu pemuda itu yang ujungnya sama-sama basah. 
                “Tapi apapun itu, terimakasih.” Gadis itu membungkukkan badannya dengan cepat, segera membuka pintu pagar dan masuk tanpa menunggu respon dari pemuda itu. Sebenarnya ia tak benar-benar masuk. Ia bersandar di balik pagar, menunggu detak jantungnya normal kembali. Sementara pemuda itu masih berdiri di sana, memandangi pagar yang telah tertutup itu.
                Pemuda itu tersenyum ringan, dan merasa lega. Ia pun berbalik dan mulai berjalan.
Gadis itu mengintip kepergian pemuda itu dari celah pagar yang ia buka sedikit. Ia kaget saat melihat seragam seolah pemuda itu bagian belakangnya basah total karena hujan. Ternyata, payung yang ia bawa benar-benar hanya memayungi dirinya, tanpa bisa memayungi diri pemuda itu sendiri. Gadis itu menyesal dalam hati karena membiarkan pemuda itu berada di belakangnya sepanjang perjalanan. Secepat kilat ia berlari ke dalam rumahnya, mengambil mantel hujan yang digantung di dekat pintu, berbalik dan mengejar pemuda itu yang masih belum jauh dari rumahnya.
“Hey,” panggil gadis itu, sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Pemuda itu berhenti dan berbalik menghadap gadis itu. Ia menyodorkan mantel hujan yang dibawanya, agar pemuda itu tidak kedinginan dan seragamnya tidak bertambah basah.
Pemuda itu mengambil mantel tersebut dengan tatapan bingung, meletakkan payungnya sejenak dan mengenakannya. Ia mengambil payungnya kembali dan menyerahkannya pada gadis itu.
“Hey, aku telah memayungimu sejauh ini. Percuma saja jika akhirnya kau basah,”
Gadis itu memandangi tubuhnya sendiri dan tidak sadar kalau dirinya kini telah sepenuhnya basah. Ia memandangi pemuda itu sejenak, dan mendorong payung yang disodorkan pemuda itu.
“Aku tinggal berlari lagi ke rumah, lagian aku sudah kuyup,” ujar gadis itu
Pemuda itu hanya menatap gadis itu. Ia membalikkan badan gadis itu dengan satu tangannya, sementara tangan yang lain memegang payung. Kemudian, tanpa mengatakan apa-apa, ia mengantarkan gadis itu kembali hingga ke depan pagar. Kali ini, mereka berjalan bersisian di bawah hujan. Membiarkan hujan tahu degup jantung yang disimpan keduanya dalam hati.
***

Komentar

  1. hei, aku udh baca novel blognya, nice :) keep writing ya dan kalo boleh saran, jangan terlalu banyak pakai kata "itu" :)

    BalasHapus
  2. Hehe. tahnkyuu. iya nih, karena namanya gak ada jadi keseringan pake 'itu' :)

    BalasHapus

Posting Komentar