Prolog



Sore itu basah dan dingin. Hujan baru saja usai menggelar nyanyian lebatnya. Mereka yang tadi menunggu hujan reda, telah meninggalkan tempat itu satu per satu, meskipun gerimis masih turun rapat sebagai sisa hujan sebelumnya.
Namun gadis itu memilih untuk tetap berada di pelataran sekolah itu, menunggu sebentar lagi. Ia memandangi tetes-tetes hujan yang jatuh dari atap sekolahnya untuk membunuh waktu. Bahkan ia mengulurkan tangan dan membiarkan rasa dingin menjamahi telapak tangannya.
“Kau suka hujan di sini?” suara bass itu mengalihkan perhatian gadis itu dan mengarahkan pandangannya pada yang punya suara. Gadis itu hanya terdiam, keningnya mengerut dan matanya membulat. Lebih kepada menunjukkan keengganannya untuk menjawab pertanyaan itu. Namun pemuda itu tetap menatapnya sambil tersenyum, bersikukuh untuk mendapatkan jawaban.
“Basah, lembab, dingin, becek, membuang-buang waktu untuk menunggunya reda,” gadis itu menyerah dan akhirnya bicara.
 “Tidak ada satu alasan pun mengapa aku harus menyukai hujan, bahkan di tempat ini,”
“Suatu hari nanti, kau akan menyukainya. Lalu setiap melihat hujan, kau akan teringat padaku,” jelas pemuda itu, tersenyum puas.
Gadis itu kembali mengerutkan keningnya pertanda tidak mengerti. Ia bahkan sama sekali tidak mengenali pemuda yang berdiri tepat di sampingnya itu. Namun pemuda itu enggan memberi penjelasan lebih lanjut. Ia malah ikut-ikutan mengulurkan tangannya biar dibasahi hujan. Lalu teka-teki yang tercipta pada sore itu, ikut larut bersama hujan.
***



Komentar