Kamu, pada Suatu Pagi di Hari Senin



Hari ini, aku bangun sedikit lebih lama dari biasanya, efek begadang di malam hari yang sudah biasa aku lakukan. Meskipun kau bilang begadang itu tidaklah baik, dan menyemangatiku untuk tidak lagi begadang, namun aku gagal. Kau tau, sesungguhnya satu-satunya penyebab aku tak bisa tidur adalah memikirkanmu.

Rumah sudah sepi, seperti biasa. Ayah dan ibuku telah pergi sedari pagi. Lalu, hanya tinggal aku dan nenekku yang sudah berumur 80 tahun. Sesungguhnya, aku jarang punya dialog dengan nenek. Kami hidup dalam satu rumah, namun berada dalam dunia yang berbeda. Dalam satu hari, mungkin bisa dihitung berapa kata yang aku dan nenek tukar. Meskipun begitu, kami tak pernah mempermasalahkannya, karena sama-sama nyaman dengan itu.
Lalu ada pagi ini. Sudah mulai siang sebenarnya saat aku setengah sadar berjalan ke kamar mandi.
“Kemarin, kamu pergi ke rumah temanmu yang waktu itu ya?” tanya nenek seketika saat aku bertemu dengannya di dapur.
“Bukan,” jawabku sekenanya, lebih kepada menghindari perbincangan dengan nenek yang sama sekali bukan teman bicara yang asik, sembari memikirkan siapa orang yang nenek maksud. Beruntung otakku sudah bangun lebih dulu dan bisa langsung memberikan koneksi pada kejadian kemarin. Ah, aku ingat. Kemarin aku pergi ke rumah temanku, yang tak lain adalah tetanggamu. Seketika aku sadar siapa yang sebenarnya nenek maksud. Karena temanku itu, tidak pernah bertemu nenek.
“Bukan dia, tapi ke rumah teman di dekat rumahnya itu,” lanjutku. Tapi aku melewati rumahnya, lanjutku dalam hati.
Ke rumah temanku sama artinya melewati rumahmu. Aku masih ingat mobil ayahmu terparkir di depan. Mobil yang pernah ada kita di dalamnya tahun lalu. Sepeda motor adikmu juga ada di sana, berada dekat jendela depan, di sebelah pintu. Sepeda motor yang juga pernah membuat kita punya cerita. Pintu rumahmu tertutup, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Hanya ada beberapa jendela yang terbuka, dan beberapa jemuran di halaman samping rumahmu. Tak ada yang berubah dari rumah itu, bahkan sejak 3 tahun lalu saat terakhir kali aku ke sana. Satu-satunya yang berubah adalah ketiadaanmu.
Tak ada lagi dirimu yang bertukar pesan singkat denganku pada malam-malam saat kau berada di rumah itu. Tak ada lagi dirimu yang susah mendapatkan sinyal karena provider yang kita pakai tak cukup kuat di daerah tempat tinggalmu. Tak ada lagi dirimu yang sengaja menipuku sedang berada di luar kota saat aku datang jauh-jauh ke sana, hanya agar kita bisa bertatap muka untuk pertama kalinya. Tak ada lagi dirimu yang meneleponku untuk pertama kali dengan telepon rumahmu.
Tak ada lagi dirimu yang sengaja berkunjung ke rumah temanku di malam hari, hanya untuk membantuku yang saat itu tengah kebanyakan tugas, membuat sebuah limas segiempat. Tak ada lagi dirimu yang nongkrong di kedai depan rumah temanku, kemudian memintanya untuk menyampaikan salam padaku keesokkan harinya. Tak ada lagi dirimu yang keluar rumah sekadar untuk menyapaku saat kebetulan aku lewat di sana. Tak ada lagi dirimu yang pamit beberapa hari sebelum akhirnya kau pergi ke pulau seberang. Ya, tak ada lagi dirimu.
“Oh, dia tidak pulang ya waktu libur begini?” ternyata nenek masih lanjut bertanya.
“Tidak,” jawabku lagi. Dia sempat pulang sebentar, namun memilih pergi sebelum kami sempat bertemu, kembali aku melanjutkan kalimatku dalam hati.
Ya, kau pulang. Dan meskipun hanya ada sedikit waktu, seharusnya kita bisa bertemu. Bukankah sedari dulu, kita memang hanya berusaha memanfaatkan waktu yang sedikit semaksimal mungkin? Namun, sepertinya cerita itu telah berbeda.
Aku merasa seperti kita sedang berjalan dengan arah yang berbeda. Aku datang namun kau pergi. Kita berselisih dan sesungguhnya sanggup untuk sekadar menatap dan saling sapa, namun kau hanya lalu seakan-akan tidak melihatku. Meskipun kau tetap pulang ke rumah itu, namun tetap saja tidak ada ada dirimu. Dirimu yang dulu, dirimu yang menjadi orang terdekatku.
“Oh,” nenek hanya merespon singkat, seraya memintaku untuk menuangkan air panas ke dalam termosnya, kemudian berlalu dan masuk ke kamarnya.
Kau tau, nenekku sebenarnya cukup banyak bertemu dengan temanku yang lain namun tak pernah menanyakan mereka.
Nenekku saja yang hanya berbicara denganmu dalam kurun tak sampai 5 menit, masih bisa mengingatmu. Apalagi aku, yang telah membicarakan banyak hal denganmu selama 5 tahun ini, bagaimana mungkin aku tak mengingatmu?
Nenekku saja yang hanya bertemu denganmu dalam kurun tak sampai 5 menit, sama sekali tak lupa padamu. Apalagi aku, yang telah melihatmu selama 5 tahun ini, sekalipun hanya dalam mimpi dan bayangan semu, bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu?
Pernahkah kau dengar saat orang berkata, “Kau hanya akan mengingat hal-hal yang berkesan bagimu, jika kau tidak ingat berarti itu bukanlah sesuatu yang mengesankan,”
Lalu seperti itu pula yang agaknya terjadi pada nenekku.
Nenekku saja yang hanya bertemu denganmu dalam kurun tak sampai 5 menit, bisa begitu terkesan dengan kehadiranmu yang sesaat itu. Apalagi aku, yang sesungguhnya punya terlalu banyak hal yang berkesan dalam daftar kenanganku bersamamu selama 5 tahun ini, bagaimana mungkin aku tidak mengenang semuanya?
Pada akhirnya, pembicaraan singkat dengan nenek pagi ini membuatku terpaksa melakukan hal yang sesungguhnya tak ingin lagi aku lakukan, dan sedang berusaha untuk tidak melakukannya lagi: mengingatmu, dan semua kenangan yang takkan mungkin dikembalikan lagi oleh waktu.

-280112-
11:17 pm
(mengapa, selalu ada celah untukku, untuk selalu mengingatmu?)


Komentar