Kisah Aku, si Penguntit..


Aku hanya mampu menatap nanar barisan demi barisan percakapan yang ia lakukan. Percakapan itu terasa mengalir dan sangat akrab. Lagi-lagi dengan seorang gadis. Seumuran dia. Baru kenal. Kira-kira seperti itulah info yang bisa aku dapatkan. Lalu, segenap sel-sel di otakku langsung bersinergi dengan kemelut hatiku. Aku langsung menjadi uring-uringan. Kepalaku pusing, dan bibirku seperti ditarik amat keras hingga melengkung ke bawah. Pikiranku kacau dan tidak tau lagi harus berbuat apa, selain meneruskan melihat pertunjukkan tak mengenakkan itu.
Padahal itu bukan yang pertama. Terlalu sering malah. Dengan gadis-gadis yang berbeda, dan dengan percakapan yang berbeda pula. Namun aku tak pernah bisa bersikap wajar. Semua selalu mendapat reaksi yang sama. Aku lelah, namun aku tak pernah bisa berhenti.
Aku tak ingat lagi kapan pertama kali aku melakoni pekerjaan sebagai seorang penguntit. Lebih tepatnya, penguntit media sosial yang ia punya. Semuanya. Setiap hari. Aku selalu rajin mengeceknya. Dengan siapa saja ia bercengkerama, apa yang sedang dilakukannya, apa yang sedang diminatinya. Karena dengan begitulah, aku bisa merasakan kehidupannya, dan turut serta di dalamnya meskipun hanya sebagai penonton yang budiman.
Dulu, intensitasnya hanya sesekali. Pasalnya, dulu aku selalu kebagian informasi langsung dari dia. Aku selalu menjadi orang generasi awal yang tau. Hingga aku tak perlu bersusah-susah. Namun sekarang sepertinya aku mulai ketergantungan dan hampir-hampir overdosis. Aku terlalu sering melakukannya bahkan jika yang kudapati tak ada ubahnya dengan yang kulihat terakhir kali.
Yang perlu digarisbawahi, dulu tak ada gadis-gadis aneh yang datang dari negeri antah berantah itu. Semuanya aku kenal dan kalau pun ada sesuatu yang aneh, aku bisa paham kalau itu bukanlah apa-apa. Sekarang keadaannya berbalik. Terlalu banyak gadis, terlalu banyak percakapan, terlalu banyak kegiatannya yang tak aku tau. Dan aku tak bisa lagi mencerna satu persatu hubungannya dengan gadis-gadis itu. Mereka datang silih berganti, dan semua dilayani dengan baik olehnya.
Air mata, selalu jadi penutup yang manis dari tiap rutinitas penguntitan itu. Semua terasa begitu menyakitkan hingga aku hanya mampu menangis. Tak jarang aku ingin sekali tampil frontal dan terang-terangan mengungkapkan padanya. Namun aku tak berani. Aku takut membuat semuanya tambah runyam dan ia malah semakin menjauh. Lagian, terlalu banyak yang ingin aku ungkapkan. Semua telah diolah dengan baik oleh otakku, namun semuanya terkunci saat telah sampai di ujung lidah.
Ia sangat baik pada mereka, namun melupakanku. Itulah masalahnya. Bagiku tak masalah ia berbaik-baik pada mereka namun memperlakukanku dengan wajar seperti biasa. Kadang aku bertingkah aneh dengan berusaha mencuri perhatiannya agar aku dilibatkan dalam dialog menyenangkan di dunia maya itu, namun nihil. Ia terlalu asyik dengan mereka, hingga aku terkubur semu.
Aku hanya ingin diperlakukan sama dengan mereka, jika tak boleh lagi berharap lebih.  Namun, sejauh ini, selama aku telah berusaha, hal itu tak pernah bisa aku dapatkan. Sekali lagi, ini adalah hal yang wajar aku lakukan. Karena dulu, akulah yang pertama. Akulah yang berada di posisi mereka. Namun kini tidak lagi. Bagaimana mungkin hal seperti itu tidak menyakitkan?
Aku ingin sekali berhenti. Bukannya aku tak pernah mencoba. Aku pernah memutuskan segala hubunganku dengannya di dunia maya. Namun ia yang datang sendiri dan menarikku kembali. Tentu saja, aku luluh. Olehnya. Entah kenapa, aku memang tak pernah bisa berhenti. Selalu saja ada celah baginya untuk masuk. Tidak, ia telah menguasai semuanya. Jadi ia bisa masuk kapan saja ia mau. Salahku memang telah memberikan seutuhnya hatiku padanya.
Lalu aku hanya termangu. Sesekali menghela nafas panjang yang sarat dengan keputusasaan. Kadang, selama menguntit kehidupan mayanya aku bahkan lupa untuk bernapas. Saking terpukulnya. Saking mirisnya pada keadaanku. Saking tak tau harus berbuat apa agi. Sungguh, aku ingin berhenti. Namun aku benar-benar tidak bisa. Lebih tepatnya, aku tak rela. Aku tak rela ia berlalu begitu saja setelah apa yang pernah dilakukannya. Aku hanya ingin dia kembali. Seperti dulu. Sesederhana itu.

-150712-
1:47 am

Komentar