(Part 4) Kau, Cerita Baru, dan Mentari
Gadis itu
meneguk habis kopinya yang sudah dingin. Ia meletakkan cangkir kopi itu ke
meja, kemudian langsung melambai pada penjaga kafe, untuk memesan kopinya yang
kedua. Setelah itu, ia menopang dagunya dan kembali menatap ke luar jendela.
Perlahan
semburat jingga mulai mewarnai sore itu, menggantikan kelabu yang tadi singgah.
Pantulan warnanya di jalanan yang basah sangat menarik perhatian gadis itu. Ia
tersenyum tipis, sembari menyeduh kopinya yang telah datang. Manis dan hangat.
Seperti matahari sore itu. Seperti harapan yang baik setelah sebelumnya didera
hujan dan kegelapan. Kini ia percaya, bahwa harapan manis itu, ada.
***
“Tunggu..Tunggu sebentar,” teriak gadis itu
sambil berlari sekuat tenaga menuju gerbang sekolahnya. Namun si penjaga
sekolah lebih memilih menaati peraturan dibandingkan memberikannya kesempatan
untuk masuk.
“Tuk.” Kini pagar gerbang itu
telah tertutup sepenuhnya. Tak ada lagi celah bahkan untuk sekadar melihat ke
dalam.
Gadis itu tertunduk lesu di depan gerbang sekolahnya
yang sepenuhnya telah ditutup. Ia menghela napas panjang, sarat keputusasaan.
Kejadian kemarin sore ternyata berefek panjang dan membuyarkan konsentrasinya
saat mengerjakan tugas. Alhasil, ia terpaksa begadang semalaman demi tugas itu,
dan sialnya ia ketiduran. Ia masih ingat bagaimana paniknya ibu Sumiyo
membangunkannya dari tidur. Malangnya, ia tak bisa melobi penjaga sekolah di
sini, seperti yang pernah ia lakukan waktu di Indonesia.
Gadis itu berjongkok di depan
gerbang, memagut kakinya erat. Sekadar berbagi hangat berhubung cuaca hari itu
sangat dingin. Ia membenamkan kepalanya di antara kedua kakinya itu, bingung
harus melakukan apa. Ia tidak mungkin pulang dan mengecewakan homestayer-nya.
“Kring kring”. Gadis itu
tersentak saat mendengar bunyi lonceng sepeda, dan mendongakkan kepalanya.
Matanya membulat saat melihat siapa yang membawa sepeda itu. Tas salempang itu,
lesung pipi tipis itu, tatapan ramah yang sudah kembali itu.
“Akankah kau duduk di sana
hingga jam pelajaran berakhir?” tanyanya yang hanya disambut tatapan bingung
gadis itu.
Pemuda itu kemudian turun dan
menegakkan sepedanya, kemudian berjalan ke arah gadis itu yang masih terduduk
bisu.
“Mari ku bantu kau untuk mengubah hari menyebalkan
ini, menjadi hari yang tidak terlupakan,” ujarnya, sembari mengulurkan
tangannya.
Gadis itu masih belum memberikan
respon. Di dalam hati dan pikirannya semacam muncul dua kelompok yang saling
berdebat apakah ia harus menolak atau mengiyakan tawaran pemuda itu.
Sejujurnya, ia ingin sekali menghabiskan waktu lebih lama dengan pemuda itu,
agar bisa tahu seluk beluk dirinya. Namun mengingat pemuda itu pura-pura tidak
mengingatnya kemarin membuat rasa sakit hatinya muncul lagi.
Pemuda itu masih mengulurkan
tangannya meskipun ia belum juga memberikan tanda-tanda ikut serta. Gadis itu
kemudian memberanikan diri untuk melihat mata pemuda itu, dan seketika ia bisa
merasakan kehangatan menyelubungi dirinya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat
langit mulai cerah, tak lagi semendung tadi. Entah mengapa, ia merasa itu
adalah pertanda bahwa hari itu adalah hari baik. Mungkin ia harus melunakkan
sedikit egonya agar tidak kehilangan hari ini.
Ia pun mengulurkan tangannya dan berdiri. Pemuda itu
ternyata tidak melepaskan tangannya dan malah membimbingnya hingga tempat
sepeda tadi berdiri. Saat itu, gadis itu bisa merasakan ribuan kupu-kupu seakan
berterbangan dalam perutnya, membuat ribut hingga jantungnya ikut bersuara.
***
Pemuda itu mengayuhkan sepedanya dengan tenang, dan
gadis itu bisa melihat gedung sekolahnya semakin lama semakin hilang dari
pandangan. Ia kemudian menikmati perjalanan membingungkan ini, membiarkan
rambutnya berterbangan terbawa angin dan sapaan lembut angin itu ke wajahnya.
Selain taman dekat rumah dan sekolahnya, gadis itu sama sekali belum pernah
melihat kota ini lebih luas, meskipun telah hampir setengah tahun tinggal di
sini. Ia ingin, namun rasanya sulit jika pergi sendirian.
Sudah empat puluh menit pemuda itu mengayuhkan
sepedanya, namun ia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Tidak pada
jalanan yang penuh pertokoan dan kedai-kedai di sekelilingnya. Tidak pada
sebuah kuil kuno yang cukup ramai dikunjungi wisatawan. Tidak juga pada taman bunga
tempat biasanya orang menghabiskan waktu untuk bersantai.
Gadis itu sebenarnya sangat ingin bertanya, namun ia
bukanlah tipe manusia yang bisa membuka sebuah percakapan. Ia hanya akan
bicara, jika orang lain mengajaknya bicara. Akhirnya ia hanya menyimpan
pertanyaan tersebut dalam hatinya, sama seperti pertanyaan-pertanyaan lain yang
lebih dulu hadir tentang pemuda itu.
Akhirnya pemuda itu menghentikan kayuhannya. Gadis itu
bisa melihat sebuah sungai membentang di hadapan mereka, di bawah sebuah
jembatan layang. Tidak ada orang di tempat itu, dan rasanya menenangkan bisa
terasing dari keramaian. Kontras dengan suasana hiruk pikuk kendaraan lalu
lalang di atas mereka.
Pemuda itu turun, kemudian melangkah mendekati sungai
itu tanpa mengucapkan apa-apa. Gadis itu hanya mengikutinya tanpa menunggu
perintah, dan ikut duduk di samping pemuda itu.
Mereka larut dalam diam selama beberapa saat. Meskipun
tak sanggup untuk menoleh, namun dari sudut matanya gadis itu tahu bahwa pemuda
itu begitu menikmati pemandangan sungai itu. Ia memandangi setiap pergerakan sungai
itu, sambil sesekali melempar batu kecil ke dalamnya, hingga menimbulkan
gelombang-gelombang.
Lagi-lagi gadis itu ingin bertanya, mengapa mereka
harus pergi ke tempat ini. Namun ia ragu, tapi ada terlalu banyak pertanyaannya
tentang pemuda itu yang tidak akan terjawab, tanpa ia sendiri yang
menanyakannya. Terlebih, ia merasa ini adalah waktu yang tepat untuk memulai
sebuah percakapan, ia juga tak ingin diam terlalu menguasai hari itu. Gadis itu
kini mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya dan bersiap-siap untuk membuka
mulutnya.
“Ini adalah tempat persembunyian rahasiaku,” kata
pemuda itu, seakan bisa membaca pikiran gadis itu yang baru saja akan
menanyakan pertanyaan serupa.
“Aku suka ke sini sedari kecil, dan menyenangkan
karena tidak ada orang yang tahu,” lanjut si pemuda.
“Mengapa?” hanya itu yang bisa keluar dari mulut gadis
itu.
Pemuda itu tersenyum, mengambil sebongkah batu lagi,
namun ia tidak langsung melemparkan batu itu seperti yang daritadi
dilakukannya, malah memandanginya lekat-lekat. Sementara gadis itu memandangi
pemuda itu lekat-lekat dan menyimak tiap kata yang ia keluarkan.
Ayah dan ibu pemuda itu berpisah sejak aku kecil. Ibunya
pulang ke Indonesia dan ia tetap tinggal di sini bersama ayahnya, yang jarang
berada di rumah. Ayah pemuda itu menyibukkan harinya dengan bekerja dan akan
pulang sangat larut, lalu akan pergi lagi saat hari masih sangat pagi.
“Lalu aku menemukan tempat ini saat bermain sepeda.
Rasanya, seperti menemukan pulau tersembunyi,” lanjutnya. Gadis itu bisa
melihat mata ramahnya berbinar-binar. Seakan kembali pada masa di mana ia pergi
ke tempat itu pertama kali.
“ Akhirnya, setiap hari aku ke sini. Kepadanyalah aku
menceritakan nilai-nilaiku yang jelek, kekalahanku saat bermain sepak bola,
ayah yang marah-marah padaku, bahkan aku juga bercerita padanya saat aku jatuh
cinta,” ujarnya sambil tersenyum, dan akhirnya melemparkan batu yang ia pegang
tadi.
Gadis itu sedikit tersentak saat mendengar kalimat
terakhir pemuda itu, entah mengapa.
“Bukankah kau tidak menyukai hujan? Lalu apakah kau
juga tidak menyukai sungai?” pemuda itu menoleh dan bertanya ke arahnya.
Gadis itu hanya menatap bingung, tidak tahu darimana
pemuda itu tahu bahwa ia tidak menyukai hujan. Rasanya ia tak pernah
menceritakan hal tersebut pada siapapun.
“Eumm, entahlah. Bagiku hujan dan sungai itu berbeda,
jadi tidak ada alasan untuk tidak menyukai sungai. Melihatnya seperti ini,
cukup menyenangkan.” Gadis itu hanya bisa menjawab, tanpa bisa bertanya untuk
memuaskan rasa penasarannya yang bertubi-tubi.
“Mereka terpisah jauh, satu di langit dan satu di
bumi,” pemuda itu kembali mengatakan sesautu yang tidak dimengerti arahnya oleh
gadis itu.
“Namun saat hujan turun, mereka akan bertemu dan larut
satu sama lain, lalu melanjutkan perjalanan bersama tanpa tahu kemana tujuan
mereka, hanya menyerahkannya pada takdir,” jelas pemuda itu panjang lebar, yang
sesungguhnya tidak begitu dipahami gadis itu.
Mereka kembali larut dalam diam, memandangi sungai itu
dengan tenang. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Gadis itu mengernyitkan
matanya saat sadar ketenangan sungai itu berubah menjadi gelombang-gelombang kecil
dan padat. Ia mendongakkan kepalanya dan seketika wajahnya basah karena hujan.
Tak disangka hujan siang itu lebat dengan cepat tanpa
aba-aba. Pemuda itu langsung menarik tangannya dan berlari ke bawah jembatan.
Alhasil, sekarang yang mereka pandangi adalah hujan yang jatuh setengah ke
daratan, setengah lagi ke sungai.
Gadis itu merapatkan sweater rajut yang dipakainya. Ia mendengus saat
tahu sweater yang ia pakai hari itu
tidak punya saku. Karena terlalu tergesa-gesa tadi pagi, ia lupa memakai sarung
tangannya. Gadis itu mulai merasakan tangannya seperti ditusuk-tusuk jarum. Ia
menggosok-gosokkan kedua tangannya, mendekatkannya ke mulut, dan menghembuskan
napasnya ke sana. Berulang-ulang agar rasa dingin itu berkurang.
Sementara pemuda itu dengan santai mengeluarkan Mp3 player dari dalam tasnya,
memasang headset pada kedua
telinganya, lalu memasukkan tangannya ke dalam saku. Pemuda itu memejamkan
matanya dan mulai larut dalam lagu yang didengarnya. Gadis itu iri melihat
kedamaian yang diciptakan pemuda itu untuk dirinya sendiri, sementara ia merasa
begitu tersiksa. Kembali ia ingin merutuki hujan, namun diurungkannya mengingat
keberadaan pemuda itu di sampingnya, sesuatu yang mungkin tidak akan terjadi
lagi.
Gadis itu masih sibuk menghangatkan tangannya, saat
lamat-lamat ia mendengar suara yang ternyata adalah sebuah lagu itu di telinga
kirinya. Ternyata pemuda itu memasangkan sebelah headset itu ke telinganya.
“Kau tidak suka suara hujan juga, bukan?” tanya pemuda
itu tersenyum, namun sepertinya ia tak membutuhkan jawaban dari pertanyaan itu.
Kemudian ia merasakan tangannya ditarik dan masuk ke
dalam saku jaket pemuda itu. Hangat. Gadis itu bisa merasakan pipinya bersemu
merah. Ia melirik ke arah pemuda itu, namun pemuda itu bersikap seolah tidak
tahu apa-apa, dan tetap santai memejamkan matanya dan menikmati lagu tersebut.
Because of you..
because of you, it’s the truth
Gadis itu mulai menikmati lagu itu. Ia sama
sekali belum pernah mendengarkan lagu itu sebelumnya, namun entah mengapa
rasanya tiap liriknya begitu masuk ke dalam hatinya.
Do I wanna
believe you think the same, I’m missing
you.
Pemuda itu masih memejamkan matanya dan tersenyum
tipis. Kepalanya mengangguk-angguk kecil, sementara jari-jari di tangan kirinya
mengetuk-mengetuk pahanya mengikuti tempo lagu yang mereka dengarkan.
And I want you
believe same lose as me, I’m missing you.
Saat itu gadis itu merasa ia tak perlu bersembunyi dan
berpura-pura lagi pada perasaannya. Sesulit apapun ia menghindar dan mengatakan
bahwa semua itu hanyalah rasa penasaran semata, ia tahu hatinya tidak berkata
demikian. Sedari awal, pemuda itu berhasil mencuri perhatiannya dan membuatnya
tak pernah berhenti memikirkannya. Pemuda pertama dalam hidupnya yang berhasil
membuat jantungnya berdegup tak karuan. Mungkin ia hanya membutuhkan lebih
banyak waktu bersama pemuda itu, agar pemuda itu sadar akan keberadaannya.
Now I know, I’m
missing you whole time. Don’t say goodbye…
Hujan siang itu, adalah hujan terbaik yang pernah
dirasakan gadis itu. Hujan yang menyadarkannya, bahwa ia telah jatuh cinta.
***
Hi gadis merah jambu, sepertinya kau sangat mencintai hujan :) Aku pun begitu, selalu menantinya datang meski hanya singgah sebentar. Hujan itu, pesan cinta dari langit untuk bumi yang setia menanti :)
BalasHapushahaa.. iya afnesha, this is my novel project. hujan adalah inspirasinya. masih draf kasar, but i hope you read it all babe.. :)
BalasHapusHuaaa keep writing beb.. love your writing as always... simple, ringan tapi dalem :) semangat ya buat first draftnya.. adek kelas aku ada yg baru aja tekan kontrak sama gagas tuh, kamu juga pasti bisa sayaaaang :*
BalasHapusSure, bakal baca semuanya.. hmm ngiri bgt kamu bisa jaga mood nulis dgn baik, kalo aku mah mood2an.. padahal pengen bangeeeeeet juga bisa bikin first draft :")
semangat chicaaaa.. you can do it.. :}
BalasHapusbtw, gue udah baca loo tulisan lu yang itu..
sejak pertama kali diposting. hihi.