(Part 3) Kau, Tanda Tanya dan Hujan Lebat
Hujan sore itu ternyata berlalu begitu saja. Gadis itu menyeka embun yang telah menumpuk di jendela untuk melihat lebih jelas ke luar. Jalanan sudah sepenuhnya basah dan lembab. Ia bisa melihat gerimis lamat-lamat mulai menipis sebelum akhirnya hilang.
Sebagian
besar orang yang tadi berteduh mulai kembali melanjutkan perjalanannya, enggan
untuk menunggu lebih lama lagi. Tidak ada yang tahu, apakah sesudah hujan yang
sebentar itu akan kembali hujan, atau malah berganti pelangi. Lagi, hujan selalu meninggalkan tanda tanya
setiap kemunculannya.
***
Gadis itu bergegas memberesi buku-buku
pelajarannya, segera keluar kelas dan mempercepat jalannya ke gerbang sekolah.
Ia harus menyelesaikan tugas Sejarah yang akan dikumpulkan besok, dan ia tak
mau terkurung di sekolah seperti kamarin, karena langit mulai mendung. Pertanda,
sebentar lagi akan hujan. Ia segera berlari keluar kelas menuju gerbang
sekolahnya.
Langkah gadis itu mulai melambat
saat ia melihat sosok yang ia kenali memasuki gerbang sekolah, berjalan ke
arahnya. Jantung gadis itu tiba-tiba berdegup kencang. Sesuatu yang hanya
terjadi saat ia bertemu seseorang. Seketika, gadis itu tersenyum kepada dirinya
sendiri, mengingat kejadian kemarin sore.
“Itu dia.. senior tingkat akhir
yang paling tampan itu,” gadis itu mendengar bisik-bisik siswa perempuan di
belakangnya.
“Padahal ia jarang ke sekolah,
namun nilainya selalu menjadi peringkat teratas di angkatannya,” lanjutnya.
“Benarkah? Wah, sempurna sekali.
Besok aku akan membuatkan bekal makan siang untuknya,” timpal gadis yang satu
lagi.
“Jangan harap. Dia sama sekali
tidak mau berkomunikasi dengan perempuan. Dia, dingin dan tidak pernah
tersenyum,”
Gadis itu mengernyit karena
penjelasan siswa-siswa yang tak lain adalah juniornya tersebut. Akhirnya ia
tahu, bahwa pemuda itu adalah kakak kelasnya. Namun ia tidak menyangka kalau
pemuda itu, dingin. Setidaknya dari apa yang sudah ia alami tiap kali bertemu
dengan pemuda itu. Terlebih apa yang terjadi kemarin sore.
Tanpa sadar, pemuda itu kini hanya berjarak beberapa
langkah lagi darinya. Jantungnya kini berdegup semakin cepat, dan otaknya sibuk
mencari kata apa yang akan ia lontarkan pada pemuda itu. Atau, agar lebih
sederhana, senyum seperti apa yang akan ia lontarkan sesaat lagi.
“Siapa nama pemuda itu?”
juniornya yang satu lagi tadi ternyata masih penasaran. Gadis itu memasang
radarnya tinggi-tinggi, bersiap mendengar informasi terpenting baginya itu. Ia
baru sadar, bahkan ia sama sekali belum mengetahui nama pemuda itu.
Tepat saat siswa perempuan di
belakangnya menyebutkan nama pemuda itu dengan suara yang amat pelan, saat itu
pula pemuda itu berjalan melewatinya begitu saja, tanpa sepatah kata pun.
Menoleh pun tidak. Ia kenal tatapan ramah itu, namun sepertinya sedang tidak
ramah pada sore itu.
Seketika langkah gadis itu
terhenti. Pemuda itu sama sekali tidak menatap ke arahnya, padahal ia amat
yakin kalau pemuda itu melihatnya saat memasuki gerbang tadi. Ribuan pertanyaan
muncul di kepalanya tentang sikap tak acuh yang ditunjukkan pemuda itu,
mengingat sebelumnya ia bahkan bersikap ‘terlalu’ manis.
“Nah, kau lihat kan. Dia bahkan tidak
sedikit pun melihat kita. Sekilas pun tidak. Benar-benar dingin,” kata siswa
perempuan itu. Karena terlalu fokus menatap pemuda itu tadi, gadis itu
kehilangan momen untuk mengetahui siapa nama pemuda itu.
“Tapi tetap mempesona,” timpal yang
satu lagi. Keduanya tertawa singkat kemudian berjalan mendahului gadis itu yang
masih mematung di tempatnya.
Gadis itu terpaku di tempat di
berdiri. Tidak percaya dengan apa yang telah ia lihat barusan. Mungkin selama
ini ia memang hanya terlalu percaya diri. Sikap baik yang ditunjukkan pemuda
itu mungkin bukanlah apa-apa. Bahkan mungkin pemuda itu sama sekali tidak ingat
telah menolong gadis yang sama. Mungkin, perasaan bergetar yang dirasakan
hatinya hanyalah sensasi sesaat belaka.
Gadis itu meremas tali tas
ranselnya lebih erat, mencoba menguatkan diri. Perlahan hujan kembali membasahi
Naha, meyakinkan gadis itu bahwa setelah mendung akan selalu hujan. Tidak akan pernah
ada pelangi, apalagi matahari. Harapan manis itu, tidak ada.
***
`
Komentar
Posting Komentar