(Part 1) Kau, Langit Mendung dan Hujan Tiba-tiba
Bogor, 2013
Asap
mengepul dari kopi yang dipesan gadis itu, perlahan-perlahan hilang bersama
udara. Namun gadis itu sama sekali tidak tertarik pada kehangatan yang
ditawarkan si kopi. Pandangannya malah lurus menembus jendela. Menerawang
bekas-bekas masa lalu yang mungkin masih bisa digalinya. Langit di luar gelap.
Biasanya pertanda hujan.
Namun
bagi gadis itu, mendung tak selamanya kelabu. Bahwa tak selalu langit gelap itu
pertanda hujan. Bahkan ada kemungkinan setelah mendung yang datang justru sinar
matahari. Sama seperti hidup, abu-abu. Tidak ada yang pernah tahu apa yang akan
terjadi di masa depan. Tidak selamanya hal-hal yang dianggap buruk akan selalu
buruk. Bahkan tak jarang, ia membawa cerita manis untuk dikenang.
Sama
seperti pemuda itu. Pemuda yang
menguasai hampir seluruh pikirannya beberapa tahun belakangan. Pemuda
yang muncul dalam kamuflase hujan, seperti ia menamai dirinya.
***
Naha,
2011
Gadis itu berjalan perlahan menuju
sekolahnya yang tak jauh dari rumah tempat ia tinggal, sama sekali tidak
bersemangat. Hari itu, adalah hari pertamanya masuk ke sekolah itu. Sesungguhnya
ia beruntung menjadi satu-satunya siswa dari sekolahnya yang lulus pada program pertukaran pelajar tersebut.
Impiannya untuk hidup di Jepang
terwujud, meskipun hanya untuk sementara waktu.
Namun harapan itu pupus tatkala panitia pertukaran
pelajar memberitahunya bahwa sekolah yang akan ia masuki berada di Kota Naha,
Pulau Okinawa. Tidak ada yang salah dengan kotanya, bahkan ia cukup menikmati
suasana kota tersebut. Masalahnya, kota tersebut berada di Kepulauan Okinawa,
yang menurut Wikipedia adalah wilayah dengan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Mungkin,
si teru teru bozu, boneka penangkal
hujan itu tidak begitu berfungsi di sini. Malangnya, tidak ada musim salju,
hingga ia harus membuang impiannya jauh-jauh untuk bermain bola salju. Suhu
rata-rata kota ini saja hanya 23 derajat celcius yang itu berarti akan selalu
dingin.
Ia sama sekali tidak menyukai hujan, dengan berbagai
alasan yang sulit untuk ia ungkapkan. Ia suka menghabiskan waktunya di luar
rumah meskipun tidak suka keramaian, dan hal itu sulit dilakukan saat hujan.
Hujan hanya akan membuatnya mengurung diri di rumah,terlalu ribut untuk
menonton ataupun untuk mendengarkan musik. Apalagi untuk tidur. Belum lagi
kalau ada petir, kemungkinan mati lampu akan lebih besar. Dan ia paling benci
adalah bunyi petir.
Kalaupun memaksakan diri keluar rumah lebih parah.
Basah, becek, dingin, belum lagi banjir dan akan mengotori pakaian. Ditambah
lagi, semua tempat akan penuh dengan orang-orang yang alih-alih ingin
mengunjungi tempat itu secara sengaja, hanya ‘terpaksa’ ke sana untuk berteduh.
Huh, betapa ia sama sekali tidak menyukai hujan.
Gadis itu kemudian menghela napas panjang sembari
mengenyahkan pikirannya dan kembali menatap peta sekolah yang sedari tadi telah
dibukanya, namun belum ia lihat sama sekali. Tepat saat ia peta tersebut,
setetes air jatuh dan membuat huruf di peta itu blur. “Nah, tuh kan!” jerit gadis itu
dalam hati. Ia pun mendongak dan wajahnya kemudian diserbu tetesan hujan
berikutnya. Seiring tetesan-tetesan itu berubah menjadi gerimis, saat itu pula
penjaga sekolah tersebut mulai menutupi pagar sekolah. Gadis itu sama sekali
tidak menyadari kalau ia ternyata telah sampai dan jam telah menunjukkan pukul
6:59 pagi.
Ia bersiap untuk berlari saat sebuah tangan menyambar
tangan kanannya dan memaksanya untuk mengikuti si pemilik tangan berlari. Gadis
itu tidak dapat melihat dengan jelas karena pandangannya kabur oleh hujan, dan
harus berusaha mengejar langkah si pemilik tangan yang cukup besar, agar tidak
ketinggalan.
Gadis itu lega saat langkahnya masuk gerbang disambut
bunyi lonceng tanda pelajaran dimulai. Ia merutuki dirinya karena tidak pergi
ke sekolah dari awal. Di Jepang, segala bentuk keterlambatan adalah haram, dan
ia tak tahu alasan apa yang akan ia berikan saat masuk kelas nanti mengingat
penjuru sekolah kini telah sepi.
Si pemilik tangan akhirnya melepaskan genggamannya
saat mereka sampai ke pelataran sekolah. Ia kemudian memegangi lututnya sembari mengatur napasnya
agar kembali normal. Hal serupa juga dilakukan gadis itu, namun matanya tak
lepas memperhatikan pemuda itu. Ia terkejut saat si pemuda mendongak dan
pandangan mereka bertemu.
Hanya beberapa detik, karena kemudian pandangan pemuda
itu kemudian beralih ke lantai, dan memandangi ubin tepat gadis itu berpijak.
Seketika pemuda itu membungkuk, menarik tali sepatu gadis itu dan mengikatnya
kembali hingga rapi. Gadis itu ternganga tak percaya, bahkan hingga posisi
pemuda itu kembali tegak di hadapannya.
“Indonesia jin desu ka? (Kamu orang Indonesia?)” tanya pemuda itu sambil tersenyum. Gadis
itu bisa merasakan tatapan ramah pemuda itu, dan melihat lesung pipi tipis di
bawah bibirnya.
“Ha'i’,” jawab gadis itu, bingung ingin mengatakan apa.
“Ibuku juga berasal dari
Indonesia, makanya aku bisa mengenalimu,” lanjutnya dalam bahasa Jepang.
“Anata ni aete
ureshii desu (Senang bertemu denganmu),” lagi-lagi ia tersenyum. Ia
mengambil tas salempangnya yang terjatuh ke lantai akibat berlari terlalu
kencang tadi, kemudian berlalu. Sebelum gadis itu sempat mengatakan apa-apa.
Hujan kini telah sepenuhnya menguasai pagi itu. Saat
itulah gadis itu sadar, mungkin hujan tak selamanya buruk. Setidaknya, ia bisa
memberikan teka-teki yang hanya bisa dijawab oleh waktu. Sekilas, ia tersenyum.
Komentar
Posting Komentar