Sebenarnya Rasa
Ini sudah atau
lebih tepatnya ‘baru’ pukul 3 hari ini. Masih terjaga pada jam segini pada
minggu ini adalah hal yang lumrah buat saya. Redaktur saya masih asyik
memperbaiki tulisannya, saat saya lebih asyik lagi berkelana di timeline. Setidaknya mencari orang-orang
yang senasib dengan saya, dan bertanya-tanya apa gerangan yang mereka lakukan
hingga masih terjaga pada pukul ini juga.
Lalu, seorang
teman saya mem-posting tulisan baru
di blognya. Iseng, saya buka postingan tersebut. Haru dan kaget. Itulah yang
saya rasakan sehabis membaca postingan tersebut. Ia bercerita tentang
kerinduannya pada rumah, dan keluarganya. Namun di tahun ketiga ia merantau ke
pulau Jawa ini, ternyata ada hal lain yang juga ia rindukan untuk bertemu.
Cinta pertamanya.
Ternyata, ia
benar-benar menemukan cinta pertama pada diri cinta monyetnya. Sederhananya,
ternyata cinta pertamanya adalah orang yang ia sukai waktu ia masih berseragam
putih merah. Rasa suka yang untuk kebanyakan orang berlalu begitu saja, berhubung
belum ada sesuatu yang mengharuskan anak seumuran itu untuk memahami rasa.
Dari postingan
itu saya tahu juga bahwa rumor yang beredar waktu kami SD itu ternyata benar.
Baik teman saya itu dan cinta monyet sekaligus cinta pertamanya, pernah
menyatakan saling suka. Ya, mereka kerap dipasangkan sebagai duet tempat duduk,
karena punya postur tubuh yang tinggi dibandingkan teman sekelas kami yang
lain, dan selalu duduk di barisan belakang.
Karena rumor
yang menyebar dengan cepat itulah, akhirnya teman saya menarik lagi kata
‘suka’-nya untuk kemudian di simpan kembali di hatinya. Dan kisah romansa
singkat masa putih merah itu berlalu begitu saja.
Yang membuat
saya haru adalah, ternyata memasuki masa SMP dan SMA, rasa yang disimpan teman
saya itu tak juga hilang, bahkan hingga detik ini. Dan hebatnya, ia bisa
menutupinya dengan sangat apik, karena memang sedikit pun tidak ada tanda-tanda
bahwa teman saya itu masih menyukai cinta monyetnya. Berhubung, hingga SMA saya
tetap berada di sekolah yang sama dengannya, meskipun tidak kenal dengan
terlalu baik. Saya kira, saat teman-teman satu sekolah saya yang lain menggoda
teman saya ini mengenai cinta monyetnya itu, itu hanya sekadar olokan akan
kelucuan di masa lalu. Sama sekali tidak menyangka bahwa itu adalah sebenar-benarnya.
Yang membuat
saya kaget (bahkan ketika menulis tulisan ini saya masih kaget) adalah cinta
monyet sekaligus cinta pertama teman saya itu adalah cinta monyet saya juga,
meskipun bukan cinta pertama saya. Dan hebatnya, meskipun kala itu masih SD, ia
adalah ‘pacar’ saya. Sulit untuk memaparkan apa yang melatarbelakangi kami
hingga akhirnya berkomitmen untuk menjadi pasangan. Dan mungkin sulit juga
untuk memahami apa yang ada di pikiran bocah kecil ‘kami’ pada waktu itu.
Singkatnya,
cinta monyet saya yang ternyata adalah cinta pertama teman saya itu adalah
tetangga saya, bahkan hingga detik ini. Kami pergi dan pulang sekolah bersama,
mengerjakan tugas, bermain, pergi-pulang les bersama. Apapun. Saya masih punya
diary yang bercerita tentang dia, serta arsip surat-surat ‘cinta’ kami semasa
itu.
Bahkan hingga
saat ini, saya masih ingat bagaimana cinta monyet saya yang ternyata adalah
cinta pertama teman saya itu menyatakan rasa ‘suka’-nya pada saya dua waktu
itu. Ya, dua. Pertama kali waktu kelas 2, saat kami pulang sekolah, di simpang
jalan. Yang kedua waktu kelas 6, lewat telepon rumah. Saya masih ingat detail
kata-kata apa yang diucapkannya kala itu. Berhubung, saya memang bisa mengingat
dengan terlalu baik dengan hal-hal yang membuat saya terkesan.
Dan setelah
membaca postingan teman saya itu, saya merasa menemukan kepingan puzzle terakhir mengenai kisah kasih
putih merah saya, yang tahu mengapa di tengah jalan kami sempat ‘putus’ sebelum
akhirnya dia bilang suka kepada saya lagi.
Awalnya, saya
mengira saya benar-benar jatuh cinta padanya. Ada banyak sinetron kala itu,
yang memengaruhi pola pikir saya mengenai suatu hubungan. Namun ternyata tidak
sama sekali. Meskipun waktu SMP saya masih berada di sekolah yang sama dengan
cinta monyet saya itu, perlahan-lahan saya lupa lalu mulai menyukai orang lain.
Setelah orang lain itu, saya menyukai orang lain yang lain lagi yang kemudian
menjadi cinta pertama saya. Lalu, saya mulai suka lagi dengan banyak orang,
hingga berhenti pada 5 tahun lalu.
Kemudian, segala
sesuatu yang terjadi pada masa bocah itu hanya menjadi kenangan dan cerita lucu
yang mengundang gelak kala diingat kembali. Bahkan ketika kami bertemu dan
bercerita panjang pada reuni tahun lalu.
Yang ingin saya
katakan adalah, saya tidak menyangka bahwa ternyata seseorang bisa memendam
rasa suka selama itu. Dan menurut saya, itu benar-benar adalah rasa yang
sebenarnya rasa. Tulus, karena ia sama sekali tidak terungkap.
Perasaan kaget
dan haru yang saya punya sekarang bukanlah karena iri ataupun cemburu padanya
dan cinta pertamanya yang tak lain adalah cinta monyet saya itu, tapi lebih
kepada iri pada rasa yang bisa kukuh ia jaga selama hampir 15 tahun lamanya.
Saya merasa
kerdil, lalu merenung. Mungkin rasa yang saya punya sekarang pada seseorang
yang menurut saya, saya telah melakukan semuanya untuknya dan menunggunya
selama 5 tahun lebih belum berarti apa-apa. Dan mungkin juga, belum sedalam apa
yang teman saya lakukan. Rasa, yang sebenarnya rasa.
-140313-
Sunday morning, 4 am
(wondering, what the real love is..)
Wah....
BalasHapusMembaca tulisan anda mengingatkan saya pada cerita saya sendiri...
Kisah teman anda persis seperti kisah saya...
Saya suka tulisan anda :)
Terimakasih.. :)
BalasHapus