Kisah Januari
Aku bertemu gadis itu saat pesta
pergantian tahun, sebulan lalu. Ia berdiri sendirian, tepat di dekat pantai.
Sesekali ombak bergulung menyapa dan menjilati kakinya. Malam itu, ia menggunakan
jubah lengkap dengan kerudung berwarna merah, persis seperti si kerudung merah.
Karena itulah, ia kelihatan mencolok di tengah malam itu.
Perlahan aku berjalan mendekati
dia, sementara teman-temanku masih asyik bernyanyi dan bermain kembang api. Terlalu
gembira menyambut tahun baru ini. Bara yang tadi digunakan untuk membakar ayam
sudah padam. Aku sama sekali tidak mengerti esensi dari perayaan ini, namun
terpaksa ikut berhubung dipaksa oleh mereka. Terlebih ini masa liburan dan aku
tidak punya destinasi lain.
Tepat saat aku berada di
sampingnya, gadis itu menoleh dan tersenyum singkat. Kemudian ia kembali
melanjutkan melihat kembang api, kegiatan yang tadi ia lakukan sebelum aku
datang. Aku terkesima saat melihatnya. Ia gadis cantik berambut pirang, sekilas
mirip Luna Lovegood sahabat Harry Potter. Aku tak sempat membalas
senyumnya yang cukup ramah, lalu hanya mengikuti arah pandangnya ke langit.
“Aku Januari,” katanya membuka
pembicaraan itu. Aku segera menoleh saat ia memperkenalkan diri, namun ternyata
ia sama sekali tidak menurunkan kepalanya.
“Aku lahir tepat pada saat
pergantian tahun seperti ini, saat ada banyak kembang api muncul,” lanjutnya.
“Lalu setiap pergantian tahun,
aku selalu menikmati kembang api sendirian seperti sekarang ini, sementara
keluargaku di rumah,”
Aku hanya mengangguk sekilas,
masih belum tahu kata apa yang harus aku ucapkan pertama kali padanya. Lalu aku
hanya mendengarkan kembali apa yang ia katakan.
“Karena dalam satu tahun, aku
hanya punya jatah malam ini untuk sendirian,” ujarnya sambil tersenyum.
“Kenapa..begitu?” akhirnya aku
berhasil menjadikan ini sebuah percakapan, bukan sekadar monolog.
“Aku punya 11 orang adik, dan aku
harus mengurus mereka sepanjang tahun. Kedua orangtuaku sibuk bekerja,”
paparnya. Kemudian ia mengubah posisinya dengan duduk menghadap ombak, seraya
membuka kerudungnya.
“Benar-benar tidak ada yang bisa
aku lakukan untuk diriku sendiri, bahkan untuk orang lain pun tidak,” gumamnya,
lebih kepada diri sendiri. Aku bisa melihat tangannya memainkan pasir di
sekitar tempat duduknya.
“Lalu apa resolusi tahun barumu,
Ilana?” tanyanya sambil mendongak ke arahku.
Aku kaget setengah mati karena ia
tahu namaku, sementara aku sama sekali belum memperkenalkan diri. Aku bingung
namun aku hanya menjawab apa yang ia tanyakan, tanpa memuaskan rasa penasaranku
dari mana ia tahu namaku.
“Hmm, sederhana saja. Melakukan
sesuatu yang lebih baik dari tahun sebelumnya,” jawabku singkat, sembari ikut
duduk dan kembali memandangi langit, yang masih riuh dengan kembang api.
“Sederhana, namun sulit dalam
pencapaiannya kan?” jawab Januari tergelak ringan.
“Karena kau tidak punya takaran
seberapa baik tahun lalu dan seberapa baik yang akan kau lakukan tahun ini,” lanjutnya tersenyum.
“Setidaknya aku bisa memperbaiki
kesalahan-kesalahan tahun lalu, hingga ia tidak terulang lagi tahun ini,
bukankah itu juga berarti melakukan sesuatu yang lebih baik?” tanyaku, lebih
karena putus harapan karena aku memang sama sekali tak punya harapan apa-apa
tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Kau benar, mungkin bisa
sesederhana itu, namun sesungguhnya kau perlu juga untuk mengerucutkan hal-hal
baik yang ingin kau lakukan dalam bentuk yang lebih spesifik,” jelasnya.
“Kau sama seperti ku, Ilana. Aku
juga tak pernah punya target apa-apa dalam hidupku. Aku membiarkan semuanya
berjalan begitu saja, karena aku memang tidak bisa melakukan apa-apa.” Kali
ini, ia kembali menatap langit, menikmati sisa-sisa kembang api yang perlahan
mulai berkurang.
“Aku adalah sesuatu yang jarang
sekali diingat, dan seketika berlalu begitu saja, aku bahkan tidak bisa memberikan
harapan apa-apa,” ia tersenyum, sarat kemirisan akan dirinya, kemudian
mengeluarkan sesuatu dari dalam jubahnya.
Aku sama sekali tidak bisa
mencerna apa yang ia katakan. Semakin lama pembicaraan ini berjalan, semakin
banyak hal yang tidak aku mengerti dan ingin aku tanyakan. Tapi sebelum aku
sempat mengeluarkan sepatah kata pun, Januari memberikan sesuatu yang ia
keluarkan dari jubahnya tadi kepadaku. Sebuah buku harian.
“Ini untukmu Ilana,” ujarnya
sambil berdiri.
“Tulislah apa yang kau lakukan
setiap hari pada buku ini, ingat.. setiap hari. Dengan begitu, kau akan tahu
apakah kau benar-benar melakukan sesuatu lebih baik dari sebelumnya,” jelasnya
diiringi tatapan tak mengerti dariku. Kini aku berada tepat di hadapannya
hingga bisa melihat jelas matanya yang biru.
“Nanti kau juga akan mengerti
sebenarnya apa yang aku katakan.” Kemudian ia berbalik arah dan berlalu. Aku
masih bisa melihat siluet merahnya perlahan-lahan menghilang. Ingin sekali aku
berteriak memanggilnya, namun sebuah tepukan mendarat di bahuku. Jonathan.
“Apa yang kau lakukan di sini
sendirian? Ayo, semuanya akan kembali ke penginapan,” katanya. Aku hanya
mengangguk mengikutinya, sambil menilik jejak-jejak Januari yang kini sama
sekali telah hilang disapu ombak. Begitu pun siluet merahnya yang juga hilang
ditelan kabut.
***
30 hari kemudian,
Aku
menyeruput kopi panas ketiga sore itu perlahan, membiarkan kehangatan mengaliri
tenggorokanku. Aku bisa merasakan rasa
panas itu juga menjalar melalui buku-buku tanganku, yang kebetulan kedinginan. Melalui
jendela kafe itu, aku bisa melihat deras hujan masih belum berkurang
kecepatannya sedari tadi. Jalanan sudah sepenuhnya basah, dan tergenang. Di
seberang jalan, tampak seorang ibu merutuki sopir mobil yang mengendarai
kendaraannya terlalu cepat hingga mencipratkan air ke bajunya.
Aku
melihat jam tanganku. Pukul 5 lewat 10 menit. Berarti sudah dua jam aku
menghabiskan waktu di kafe ini, sendirian. Aku sudah bosan berada di rumah
beberapa hari ini, dan tidak punya teman untuk diajak keluar. Maka aku memutuskan
untuk ke kafe ini sekadar untuk membaca buku.
Bus
terakhir menuju rumahku akan datang setengah jam lagi. Aku pun beranjak
meninggalkan kafe itu. Hujan sudah mulai reda, masih sisa gerimis tipis dan
langit kelam. Malangnya, aku sama sekali tidak membawa payung, jadi memutuskan
untuk berlari ke halte yang tak jauh dari sana.
Aku
sampai pada halte itu dengan napas ngos-ngosan, dengan keadaan sedikit basah dan
lembab. Aku pun duduk di bangku halte itu, sembari mengatur kembali agar
napasku normal. Tidak ada banyak orang di halte itu, bahkan ibu yang tadi
kecipratan air juga sudah pergi.
“Bagaimana Januari-mu berlalu,
Ilana?” Seketika suara yang tidak terdengar asing menyapa telingaku.
“Januari?” Hanya kalimat itu yang
bisa aku katakan mewakili rasa takjubku karena bertemu lagi dengan si Luna
Lovegood. Meskipun baru satu kali bertemu, aku dapat mengingat wajah dan
suaranya dengan baik. Bertemu dengannya, aku merasa seakan bertemu teman lama,
entah mengapa.
Ia hanya membalasnya dengan
tersenyum, mengingatkan bahwa aku belum menjawab pertanyaannya.
“Ah.. itu, entahlah. Semua
berlalu begitu saja, aku bahkan tidak bisa mengingat semuanya,” jelasku.
Januari kembali hanya membalas
dengan senyuman. Tatapannya menerawang pada gerimis yang jatuh tepat di depan
kami.
Melihat Januari, aku teringat
pada buku harian yang ia berikan. Seperti yang ia katakan waktu itu, aku
menuliskan semua yang terjadi padaku setiap hari di sana. Aku mengeluarkannya
dari dalam tasku, dan mulai membacanya dari awal.
Aku tidak pernah keluar rumah
lagi sejak malam tahun baru itu. Minggu pertama bulan ini, adalah minggu
terakhir untuk semester sekolahku. Lalu setelah itu, satu minggu berikutnya aku
habiskan untuk ujian. Beruntung, setelah itu kami diberi libur hingga awal
Februari nanti.
Masa liburan juga ternyata tidak
membawa sesuatu yang berkesan. Sepi, sendirian, dan sama sekali tidak punya
sesuatu yang menarik untuk dilakukan. Semua saudaraku sibuk dengan urusan
akademisnya, sementara teman-temanku yang lain sudah memasuki semester baru.
20 Januari,
Liburan kali ini
tidak banyak yang terjadi. Seharian ini aku hanya sibuk menonton film, membaca
buku, mendengarkan musik tanpa sekali pun keluar rumah. Meskipun kegiatan ini
aku rindukan saat sekolah, namun melakukan ini setiap hari tidaklah
menyenangkan. Tidak ada seorang pun yang bisa diajak keluar rumah.
Seharusnya, aku bisa
bertemu dengan seorang kawan lama yang tinggal di pulau seberang, dan hanya
pulang ke sini beberapa kali setahun. Namun sayangnya ia hanya pulang sekejap
dan kemudian pergi sebelum kami sempat bertatap muka. Padahal, biasanya kami
selalu menyempatkan waktu untuk bertemu, karena kesempatan langka itu. Memang,
kami sudah lama tidak bertemu pada Januari. Malangnya, bahkan ketika kali ini
ada waktu untuk bertemu pun kami tidak bisa bertemu. Urghh. Aku merutukinya
dalam hati.
Lalu hingga akhir Januari ini
datang, nilai ujianku diumumkan dan hasilnya sangat standar. Tidak jelek, namun
juga tidak buruk. Malangnya, aku pernah mendapatkan yang jauh lebih baik dari
itu, sehingga nilai standar itu mau tidak mau cukup membawa kekecewaan.
30 Januari,
Aku tahu, ini semua
adalah kesalahanku yang sedikit terlena semester kemarin. Aku tahu juga,
kemampuanku sesungguhnya jauh dari ini. Maka semester depan, aku harus
melakukan balas dendam. Aku tidak mau mata-mata pintar di sekolah menatapku
dengan pandangan mengejek nanti. Aku yakin aku pasti bisa. Tidak ada pelajaran
yang lebih mudah, dan tidak ada juga
yang lebih susah. Semua sama saja, sehingga mereka harus mendapat perlakuan
yang sama, dan menghasilkan nilai yang sama pula. Semangat, Ilana!
“Ilana, sepertinya kau salah
menuliskan tahunnya. Ini sudah tahun baru,” ujar Januari sembari menunjuk ke
arah aku menuliskan tanggal.
Aku terkejut karena ternyata ia juga
ikut membaca buku harianku. Aku tidak tahu sejak kapan ia mulai mengalihkan
pandangannya ke sana, namun aku hanya menukar tahun yang salah itu dengan tahun
sekarang.
“Maafkan aku, aku tidak sengaja
melihatnya barusan,” katanya, seakan bisa membaca pikiranku.
Aku hanya mengangguk lega. Aku sama sekali
tidak marah, hanya sedikit kaget. Terlebih, tidak ada rahasia apa pun dalam
buku harian itu. Hanya rutinitas kehidupanku biasa.
“Kau ingat apa yang aku katakan pada pertemuan
kita sebelumnya Ilana?” tanyanya, yang hanya aku belas dengan anggukan. Meskipun
aku hanya mengingatnya samar, karena kata-kata yang ucapkan saat itu cukup
sulit dicerna oleh otakku.
“Kalau kau memperhatikan dengan baik
apa saja yang sudah kau tulis, maka sesungguhnya kau akan mengerti maksud
ucapanku,” lanjutnya, lagi-lagi seakan bisa membaca pikiranku.
“Bahwa Januari adalah sesuatu yang
akan jarang diingat dan berlalu begitu saja, karena tidak begitu banyak hal
yang terjadi di dalamnya,” kini tangannya menengadah, merasakan sensasi dingin
membasahi telapak tangannya.
“Ia hanyalah sebuah langkah awal,
permulaan seseorang menapakkan kaki di tahun ini,” lanjutnya.
Sejujurnya, aku masih bingung dengan
penjelasannya dan memasang telinga lebih tajam agar aku bisa mendengar
penjelasannya lebih jelas.
“Januari itu tak ubahnya seperti
jembatan penghubung antara tahun lalu dan tahun yang baru. Pada saat itu,
orang-orang masih berusaha menyelesaikan sisa-sisa urusan di tahun lalu,
sembari menyusun rencana baik yang akan dilakukan tahun ini,” jelasnya.
Kali ini aku menangguk, mulai bisa
memahami pembicaraan ini.
“Sama seperti ketika kau salah
menuliskan tahun di buku harianmu, Ilana,” katanya sambil tergelak.
“Kau mengalami masa peralihan saat kau
sudah berada di tahun yang baru, namun jiwamu masih merasa berada di tahun
lalu.” Ia kembali tersenyum dan menatap mataku.
“Kau juga masih harus melakukan ujian
di tahun ini, padahal itu adalah pelajaran di tahun lalu,”
“Tapi, bagaimana dengan liburanku yang
kesepian ini? Bukankah ini juga sesuatu yang baru terjadi di tahun ini? Tapi
aku benar-benar kesepian,” tanyaku.
“Karena Januari sama sekali tidak
memberikan harapan apa-apa, Ilana. Ia tidak bisa menjaminmu punya waktu yang
baik, karena saudara dan teman-temanmu sudah punya waktunya masing-masing,”
jelasnya, sambil memegang tanganku.
“Ada mereka yang masih menyelesaikan
urusan di tahun lalu, ada juga mereka yang sudah memulai kehidupan baru tahun
ini, kan? Waktu yang mereka punya tidak lagi sama denganmu Ilana. Sementara kau masih
berada di masa peralihanmu,”
Aku mengangguk-angguk. Sepenuhnya telah
mengerti dengan yang ia jelaskan.
“Dan kau juga telah merancang untuk
melakukan yang terbaik untuk semester depan bukan Ilana? Berarti kau sudah
mulai mengerucutkan hal-hal baik yang ingin kau lakukan tahun ini,” simpulnya.
Aku tersenyum
pada Januari. Kerutan di keningku sepenuhnya hilang.
“Ah, itu adikku sudah datang,” Januari
melambai pada seorang laki-laki di seberang jalan. Laki-laki itu kemudian
berlari ke arah halte. Sama seperti kakaknya, dia juga punya mata biru dan
rambut pirang.
“Kenalkan Ilana, ini adikku
Februari,”
“Ah, hai Februari. Senang bertemu
denganmu,” sapaku sambil mengulurkan tangan.
Dia membalas dan tersenyum, aku bisa
melihat kedua lesung pipinya.
Kemudian bus yang ditunggu Januari dan
Februari datang, dan mereka pun naik.
“Kau harus ingat, Ilana. Tidak ada
sesuatu yang benar-benar tercapai di Januari ini, karena segalanya butuh
proses, dan Januari hanyalah awal dari proses itu berjalan,” kata Januari
sebelum langkah terakhirnya naik.
“Selamat datang di bulan Februari,” tambah
adiknya tersenyum. Kemudian pintu bus itu tertutup sepenuhnya.
Aku melambaikan tangan kepada
keduanya, lalu duduk kembali. Merenungkan kembali apa yang terjadi di Januari
ini dan pertemuanku dengan Januari. Kehadiran Januari membantuku untuk memahami
apa yang terjadi bulan ini, hingga kemudian aku sadar bahwa tidak ada sesuatu
yang sia-sia yang aku lakukan. Aku tersenyum, seiring bus yang aku tunggu
datang.
***
31 Desember,
Hari ini aku kembali bertemu Januari. Darinya
aku belajar banyak tentang bulan Januari. Bahwa memang tidak ada sesuatu yang
bisa diselesaikan pada Januari, karena ia adalah langkah awal sebuah proses. Ia
adalah masa peralihan di mana orang-orang masih sibuk menepis kenangan tahun
lalu sembari menatap wajah baru tahun ini. Ia tidak bisa memberikan harapan apa-apa
karena pada masa ini, orang-orang hidup pada masanya sendiri-sendiri. Terimakasih
Januari !
Komentar
Posting Komentar