Cerita tentang Rumah itu dan Dia



Berita itu datang dengan sangat amat cepat. Tiba-tiba. Menyergapku tanpa peringatan. Aku hanya mampu bergeming saat untaian kata-kata itu meluncur. Otakku bahkan mati saking terkejutnya hingga tak mampu lagi mencerna dengan baik. Aku bahkan tak mampu , melakukan apa pun bahkan untuk sekadar mengambil nafas. Semua tubuhku nyeri. Rasanya ada ribuan jarum yang menusukku dari segala arah.

Ia memintaku untuk berhenti. Tanpa ada angin yang mengiringi hujan. Aku benar-benar tak bisa lagi berpikir.
Aku tau, cepat atau lambat, aku harus pergi. Meninggalkan rumah itu, dan memulai kehidupan baru dengan rumah yang lain. Namun aku tak pernah benar-benar memikirkannya, karena yang aku tau, semuanya masih berjalan seperti biasa, tak ada masalah yang mengharuskanku untuk pindah.
Rumah itu sudah terlalu nyaman untuk kutinggali. Ia bukanlah rumah yang sempurna. Ia tak punya fasilitas yang bisa dikatakan cukup baik hingga aku tak rela melepasnya. Malahan, ia sering berulah. Namun ia berbeda. Ia tak punya aturan mati yang harus kupatuhi. Ia tak mengikatku erat layaknya rumah-rumah lain yang serupa. Ia hanya memberikanku kepercayaan penuh dan memintaku untuk menjaga kepercayaannya dengan baik. Itu saja. Dan setauku, aku sudah melakukannya sesuai koridor yang telah ia buat, meskipun sesekali aku lupa. Rumah itu tak banyak menuntutku melakukan apa pun. Ia membiarkanku ada atau tiada, namun selalu menganggapnya ada. Ia selalu bisa menjadi tempat pulang. Sejauh apa pun aku melangkah.
Ada masa di mana kadang aku terlalu sibuk dengan kehidupan luarku hingga aku melupakan rumah itu, jarang pulang, atau kalau pun pulang langsung melepas penat. Namun ia tak begitu peduli. Semuanya terasa baik-baik saja.
Ia selalu bisa dijadikan tempat persembunyian yang baik. Saat aku sedemikan lelahnya dengan riuhnya dunia luar, aku bisa bersembunyi di dalamnya tanpa ada yang tau. Menikmati waktu-waktu untuk diriku sendiri, melakukan apa saja yang aku sukai. Ia selalu terbuka.
Ada pula waktu di mana ia telah terkunci dan aku tak bisa masuk. Namun aku selalu bisa mengatasinya meskipun dengan cara paksa memanjat pagar.
Aku bukannya tak pernah membandingkannya dengan rumah yang lain. Terkadang, sempat terbesit di benakku rumah lain jauh lebih baik, jauh lebih nyaman, punya suasana yang berbeda. Namun setiap aku kembali padanya, ia selalu bisa mematahkan argumenku. Ia selalu bisa memberitahukan padaku, bahwa ia jauh lebih baik.
Ialah pijakan pertama saat aku mulai mengembara. Dan itu sudah cukup lama. Karena itulah aku selalu berpikir bahwa ia juga akan jadi tempat terakhirku di sini. Semuanya benar-benar terasa baik-baik saja.
Sama seperti dia. Aku tau, cepat atau lambat aku harus berhenti untuk menjadi bayang-bayangnya. Memulai kehidupan lain dengan mencari hati yang baru. Namun aku tak pernah benar-benar memikirkannya. Karena yang aku tau, semuanya masih berjalan seperti biasa, tak ada masalah yang mengharuskanku untuk mencari hati yang lain.
Aku sudah terlalu nyaman bersamanya. Ia bukanlah sosok sempurna yang aku idam-idamkan. Ia bahkan sama sekali jauh dari tipe ideal yang aku harapkan, yang membuatku harus mempertahankannya. Malahan, ia sering membuatku terluka dan kecewa. Namun, ia berbeda. Ia selalu punya cara yang membuatku kembali padanya. Ia selalu ada saat kubutuhkan. Menghentikan tangisku dengan caranya sendiri meskipun tidak cukup membuatku tenang. Ia selalu bisa dijadikan tempat pulang. Sejauh apa pun aku mengembara, ia selalu ada di situ.
Ada masa di mana kadang aku terlalu sibuk dengan kehidupanku hingga aku lupa padanya. Namun ia selalu ada, tanpa banyak berkata. Ia selalu bisa dijadikan tempat persembunyian yang baik. Aku bisa menjadi diriku sendiri saat bersamanya, melupakan semua lelah yang ada di pundakku setelah menjalani hari-hari yang berat. Menceritakan apa pun yang tak ada hubungannya dengan kesibukanmu. Ia selalu terbuka.
Ada pula waktu di mana ia begitu tak pedulinya dan lebih banyak diam. Namun aku selalu bisa menemukan cara untuk membuatnya melihatku meskipun dengan cara paksa yang ia tak bisa terima.
Ia adalah hati terlama yang pernah kusinggahi. Karena itulah aku selalu berpikir mungkin ia bisa jadi persinggahan terakhir pula. Kalau pun tidak, akan ada cara yang lebih baik untuk menghentikannya.
Lalu tiba malam tadi. Aku disuruh mempersiapkan diri untuk mencari rumah lain. Rumah itu, akan ditutup. Tak terbuka lagi, bahkan untuk aku yang telah merasa memiliki.
Terang saja aku tak bisa berpikir jernih. Bagaimana mungkin bisa mengalihkan perhatian pada rumah lain tatkala aku merasa tak ada masalah berarti yang membuatku harus meninggalkan rumah itu. Atau, rumah itu telah memendam terlalu lama kekesalannya padaku hingga akhirnya memuntahkan segalanya tepat di mukaku. Dan itu menyakitkan.
Aku tak pernah bisa membayangkan, suatu hari nanti, saat aku melewati rumah itu, aku hanya bisa tersenyum miris dan meyakinkan dalam hati, bahwa rumah itu sudah bukan milikku lagi.
Mungkin rumah itu memang bukan milikku secara status. Aku hanya menumpang, sesaat. Namun sepenuhnya ia milikku secara hati, aku yang ada di sana setiap hari, menghabiskan hari-hariku. Lalu nanti sudah tidak lagi, akan terasa sangat aneh.
Bagaimana pula dengan rumah baru? Pasti ia akan selalu terbandingkan dengan rumah lama sesempurna apa pun ia. Aku benar-benar belum siap dan tidak tau kapan akan siap.
Dan malam tadi pula, tamparan pelak pada diriku yang telah rapuh menantinya. Ia memintaku berhenti. Tidak secara langsung memang, namun untaian katanya cukup membuatku mengerti. Ia sudah tak bisa lagi menjadi ia yang dulu, yang membuatnya nyaman. Ia akan menutup semuanya. Tak tau kapan akan dibuka lagi, yang jelas bukan untukku. Padahal, aku telah melakukan banyak hal demi hati itu.
Terang saja aku tak bisa berpikir jernih. Bagaimana mungkin aku melupakan semuanya dan berhenti dengan cara seperti ini? Atau, sebenarnya ia telah memendam terlalu lama kekesalannya padaku hingga akhirnya menusukkan belatinya di hatiku. Darahnya tak seberapa, namun, sakitnya luar biasa.
Aku tak pernah bisa membayangkan, suatu hari nanti, saat aku bertemu dengannya, ia telah bersama orang lain. Aku hanya bisa tersenyum miris dan meyakinkan dalam hati, bahwa hati itu sudah bukan milikku lagi.
Mungkin ia memang tak pernah menjadi milikku secara status. Bahkan hingga detik terakhir pun aku tak pernah tau siapa sebenarnya aku di matanya. Namun, dari apa yang telah terjadi selama ini aku bisa merasakan bahwa ia milikku secara hati. Aku yang selalu memikirkannya setiap hari, mengikutsertakan bayangnya dalam setiap kehidupanku. Lalu nanti sudah tidak lagi, akan terasa sangat aneh.
Bagaimana pula dengan hati baru? Itu hanya omong kosong. Aku sudah pernah mencoba namun benar-benar tidak bisa. Aku benar-benar tidak siap dan tidak tau kapan akan siap.
Aku sadar mungkin ini memang sudah waktunya. Aku harus keluar dari “zona nyaman”-ku. Sekeras apa pun aku berusaha, tak akan pernah ada kata siap. Kadang memang butuh tamparan yang keras untuk membuat kita sadar dan bergerak. Aku masih belum bisa menerima dan belum bisa pula memikirkan akan kemana muara dari semua masalah ini. Aku hanya bisa menunggu.

-050612-
10:40 am
(saat semuanya benar-benar aneh !)

Komentar

  1. Ncaaak diag, saluuut. keep posting dih.

    BalasHapus
  2. lah bs d kirim k majalah atw koran m diaag. Jd pgn nulis lg :(

    BalasHapus
  3. haha. makasih udaa. tulisan lamo ko. pengennyo gitu tapi ndak tau kama ka dikiriman. hehe, nanti lah udd. Mari menulis ! :)

    BalasHapus

Posting Komentar