(Book) Unforgettable


By: Winna Efendi

Ini adalah sepenggal kisah dari sang waktu tentang mereka yang menunggu. Ditemani krat-krat berisi botol  vintage wine yang berdebu. Kisah mereka yang hidup dalam penantian dan bertemu cinta.

              
                Kisah ini bercerita tentang seorang perempuan awal 20-an yang hidup di balik halaman buku, mendefinisikan dirinya dengan uraian kata melalui tinta dan imajinasi. Ia adalah adik dari pemilik sebuah kedai wine bernama Muse, sebuah rumah kayu usang tempat mereka tinggal. Ia tak punya keinginan untuk tahu dan menguntai kisah dengan dunia luar. Lebih asyik bermain dengan diri dan pikirannya sendiri, dekat jendela di sebuah pojok Muse, ditemani gelas-gelas wine.
                Sementara lelaki itu adalah seorang pengunjung tetap. Datang setiap malam pukul 9 kurang lima menit. Kemudian berlalu saat jam menunjukkan angka 11. Ia selalu memesan Gabarnet Sauvigon, cukup satu gelas. Ia tidak menyentuh gelasnya sama sekali, hingga saat ia akan pulang. Meneguknya pelan dan meninggalkan selembaran limapuluh ribuan di bawah gelasnya tadi.
                Tak dinyana, mereka ternyata punya ketertarikan sama satu sama lain. Selalu bertemu setiap hari dengan kondisi yang persis sama membuat muncul riak-riak pertanyaan dalam diri mereka. Perempuan itu tertarik dan tak pernah bisa melepaskan pandangannya terhadap si lelaki. Bahkan tanpa sadar ia selalu menunggu kedatangan lelaki itu tiap hari.
                Begitu pun si lelaki. Seiring dengan kemelut pikiran akan rutinitasnya sehari-hari, keberadaan perempuan itu menjadi suplemen sendiri untuk tak pernah absen datang ke Muse. Ia selalu penasaran dengan apa yang dilakukan si perempuan, dan kenapa dia ada di situ.
                Hingga suatu hari, pandangan mereka bertemu. Detik itulah yang kemudian menyeret keduanya dalam pusaran kisah baru. Hampir setiap malam mereka habiskan untuk bercerita. Tentang kenangan masa lalu yang sendu dan masa depan yang abu. Tentang keluarga, cinta, impian, dan harapan yang kandas. Tak ada alasan pasti dan tidak ada pula benang merah yang mampu menjawab kenapa keduanya bisa saling terbuka, saling berargumen, dan berdiskusi. Pasalnya, keduanya adalah makhluk yang lebih suka memendam semua cerita dalam diri masing-masing. Saat bersama, keduanya seakan berada di dunia mereka sendiri, tanpa ada yang bisa memasuki.
 Tapi mereka tak peduli dengan masa kini. Karena mereka hanyalah orang-orang yang bertemu di perjalanan, entah mengapa dan tidak perlu tahu mengapa. Ditemani gelas-gelas wine yang selalu punya makna dalam setiap kisah mereka.
                Perempuan itu bercerita tentang kehidupan cinta pertamanya. Sosok Remy yang telah menemaninya dari sekolah dasar hingga akhirnya meninggal pada usia 18 tahun, akibat kanker yang dideritanya. Remy sangat gemar menulis, terutama cerita-cerita detektif. Karena itulah, si perempuan tak lagi mampu membuka hatinya dengan pria mana pun. Ia juga tak pernah menyebut nama Remy pada siapa pun, hingga lelaki itu tiba.
 Ia lalu hanya mengisi hidupnya dengan melanjutkan cerita Remy yang tak sempat selesai, dan menggunakan nama Remy dalam setiap kisahnya yang lain. Baginya, seperti itulah cara dia tetap menghidupkan Remy dalam kehidupannya. Karena sesungguhnya ia memang tidak pernah bisa melupakan Remy.
Sementara bagi lelaki itu, kehidupannya kini hanyalah sebuah rutinitas membosankan yang sama sekali bukan dirinya. Ia tak pernah bisa keluar dari zona nyamannya. Padahal, ia yang nyata adalah seorang petualang, berkelana dari satu negara ke negara lain tanpa beban. Seorang gitaris yang mampu membuai siapa pun dengan getaran dawainya. Hanya saja, semua itu harus membeku dalam hatinya, mengingat paksaan ayahnya untuk menjadi seorang pebisnis. Begitu pun dengan kisah cintanya. Ia telah diikatkan hatinya dengan seorang wanita yang sebenarnya tidak memiliki cacat apa pun, tapi tetap tidak bisa membuatnya nyaman. Senyaman saat ia bersama perempuan dengan aroma arbei yang khas.
Begitulah malam-malam yang kemudian mereka habiskan berdua. Hingga suatu saat mereka dihadapkan pada kenyataan pahit, mengharuskan mereka tersadar dan kembali pada kehidupan masing-masing. Lelaki itu, menghamili tunangannya. Keduanya dilanda kegalauan. Mau tidak mau, mereka harus memilih. Padahal, iklim nyaman terlanjur menyelimuti mereka. Diiringi perasaan lain yang tumbuh dalam hati mereka. Sesuatu yang ganjil bagi mereka yang sama sekali tak kenal nama masing-masing. Pada akhirnya, mereka memilih untuk berpisah, mengakhiri malam-malam itu. Hidup kembali di jalan masing-masing.
Satu lagi karya manis karangan Winna Efendi dengan tema cinta. Ceritanya kali ini cukup unik dan berbeda dengan karyanya yang lampau. Jika Ai dan Refrain bercerita tentang persahabatan yang berubah menjadi cinta, kali ini ia mengisahkan kisah cinta dua orang yang tak saling mengenal namun menemukan kenyamanan satu sama lain. Ini bukan kisah cinta biasa. Di dalamnya kita juga menemukan arti melupakan, menemukan, melepaskan, juga tentang pencarian.
 Alur penulisannya yang memukau membuat kita seakan berada di Muse dan melihat kedua tokoh utamanya bercengkerama. Selain itu, tidak terdapat banyak karakter dalam novel ini. Pemilihan lokasi kejadian juga hanya berada di Muse, meskipun di bagian akhir mereka sempat keluar dan pergi ke tempat lain.
Winna tak hanya memfokuskan ceritanya pada sudut pandang satu tokoh. Kisah perempuan dan laki-laki ditampilkan secara selang-seling. Pendeskripsian yang sangat baik membuat pembaca akan terbuai dengan rangkaian kata-katanya yang tak menggunakan diksi biasa. Ditambah lagi, Winna melengkapi keindahan novelnya dengan pesan-pesan moril serta filsafah-filsafah yang penuh makna dan tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Pemilihan judul bab juga menarik. Beragam jenis wine dalam daftar menu Muse merangkap sebagai daftar isi. Sehingga setiap kisah yang diuraikan tokoh utama dalam tiap bab selalu dikaitkan maknanya dengan jenis wine yang menjadi judul babnya.
Misalnya pada bab Eswein yang bercerita tentang cinta. Perempuan itu mengungkapkan cinta seperti segelas Eiswein. Kesan pertama saat meminumnya selalu manis, dan setelah diteguk habis rasanya tersisa untuk waktu yang sangat lama, baik itu pahit atau manis.
Bisa dibilang kisah yang ditampilkan sederhana dan seakan nyata. Rangkaian kehidupan tokoh dirangkai sendiri oleh pembaca melalui cerita-cerita kisah masa lalu tokoh. Sehingga tidak ada alur yang jelas dalam cerita ini, karena menggunakan alur maju mundur. Begitu pun dengan keterangan waktunya. Namun, kisah ini ditutup dengan sesuatu di luar prediksi. Akhir yang haru namun tetap indah.
Meskipun begitu, penggunaan kata-kata kiasan hampir di keseluruhan novel membuat pembaca yang tidak begitu terbiasa dengan jenis cerita seperti ini kewalahan. Mereka akan berpikir lebih panjang untuk mencerna maksud si pengarang, sehingga kesan manis dan menyentuh yang ingin disampaikan si pengarang tidak didapatkan. Memang, novel ini didedikasikan bagi mereka pencinta novel roman nan puitis, atau tipe manusia yang melankolis.
                Secara keseluruhan buku ini sangat bagus untuk dibaca dan meninggalkan kesan yang dalam. Efek sendu akan sangat terasa seusai membacanya. Cocok untuk menemani malam-malam lelah setelah beraktivitas ataupun bagi yang mengalami insomnia, karena baik untuk pengantar tidur.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di www.suarausu.co

Komentar