Catatan Resign
Akhirnya,
setelah menimbang-nimbang terlalu lama, keputusan resign itu
terjadi juga.
Tiga
tahun bukan waktu yang sebentar untuk bekerja di sebuah tempat dan
menjalani rutinitas yang sama setiap hari. Rasanya campur aduk ketika
apa yang sudah dimulai kini menemukan akhirnya.
April 2016, aku sama sekali tidak membayangkan bekerja di pemerintahan
menjadi pekerjaan pertama yang aku lakoni. Jauh, jauh sekali dari
harapan dan kemampuanku pribadi. Namun tawaran itu tetap aku terima
dikarenakan masalah klasik: masalah finansial. Untuk seorang anak
rantau yang hampir setahun mencari pekerjaan, tawaran tersebut sangat
menggiurkan.
Hari-hari
sebagai karyawan dimulai dengan cukup berat, karena aku harus memulai
hubungan baru dengan orang baru dari nol. Tidak ada teman seumuran,
apalagi teman seangkatan. Rasanya sangat sulit. Meskipun seorang
ekstrovert, aku tidak mudah membuka percakapan dengan orang baru.
Alhasil, aku menjadi semacam makhluk transparan yang wara wiri di
kantor tanpa dikenal orang.
Jangankan
dengan teman sekantor, hubunganku dengan atasanku sendiri amatlah
dingin. Percakapan hanya seputar pekerjaan. Dia yang perfeksionis,
aku yang ceroboh, dan demikianlah teguran demi teguran aku terima.
Hubungan yang dingin itu membuatku juga tak punya hak bicara, hanya
bisa menerima dan mengerjakan apapun yang diminta, tanpa bisa
menjelaskan apa-apa.
Padahal,
aku adalah tipe orang yang sama sekali tidak bisa memendam. Aku
selalu mengeluarkan apapun yang ada dalam pikiranku meskipun itu
menyakitkan. Terlalu jujur, kalau kata orang-orang.
Tidak
punya teman untuk berbagi di kantor ternyata amat berpengaruh padaku
secara emosional. Kalaupun ada yang bertanya, aku tak berani
menjawab. Takut salah-salah kata, sementara statusku masih karyawan
baru. Sering sekali aku menangis di toilet atau tangga darurat tanpa
tahu kepada siapa ingin bercerita.
Sebenarnya
sedari awal, aku memang berencana untuk menjadikan pekerjaan ini
sebagai tempat singgah sementara, dan tetap fokus mencari pekerjaan
yang aku inginkan. Namun rencana tak semudah eksekusi, karena waktuku
tersita pada pekerjaan dan lingkungan baru untuk adaptasi. Sembilan
bulan sebenarnya waktu yang cukup lama untuk sebuah adaptasi, tapi
demikianlah adanya. Terutama karena bekerja untuk sesuatu yang tidak
disukai, juga di lingkungan yang tak gampang dimasuki, beban mentalku
cukup tinggi dan sering depresi.
Keinginan
untuk resign begitu kuat, namun kesadaran akan sulitnya
mencari pekerjaan baru, juga trauma untuk kembali menjadi
pengangguran, membuatku bertahan.
Tahun
2017, aku lanjut bekerja dengan semangat dan optimisme baru. Aku
memutuskan untuk lebih produktif dan ingin punya hidup yang seimbang:
bekerja, komunitas, dan menjalankan hobi. Di awal tahun, aku juga
berniat mempersiapkan diri lanjut kuliah, dan mengambil kursus bahasa
sebagai syarat utama.
Aku
memiliki atasan baru yang lebih santai dan tidak kaku. Hingga aku tak
perlu berpikir dua kali apabila ingin menyampaikan sesuatu. Aku juga
mulai punya teman di mana aku bergabung dalam grup chat
mereka, makan siang bareng dan sesekali karaoke. Rasanya sungguh
berbeda dibanding menjalani kehidupan kantor seorang diri.
Hanya
saja, ritme kerjaku berubah drastis dari tahun sebelumnya. Ada
hari-hari yang dijalani dengan santai tapi kemudian harus
kejar-kejaran deadline di akhir-akhir. Aku lebih sering pulang malam,
bawa kerjaan pulang, juga bekerja di hari libur. Keinginan untuk
punya kehidupan yang seimbang sulit dilakukan. Aku juga melewatkan
banyak momen kumpul-kumpul dan reunian. Pemicu stress yang baru,
karena aku kehilangan waktu untuk bersosialisasi dengan kehidupan di
luar kantor.
Sempat
ada titik dimana aku berpikir,โSebenarnya aku ngapain sih, di
sini? Kehilangan waktu untuk diri sendiri, kerja juga gak bikin
pinter, masa depan juga gak jelasโ, yang
membuatku kembali berpikir untuk segera resign.
Aku
kemudian berpikir panjang dan merasa hidupku buntu. Bahkan di hari
ulang tahunku yang ke-25, aku menangis sepanjang malam memikirkan
hidupku ini mau dibawa kemana.
Ingin
resign dan
melamar pekerjaan baru, tapi aku tidak tau lagi pekerjaan seperti apa
yang aku inginkan.
Ingin lanjut kuliah tapi aku
tidak tau jurusan apa dan kampus mana yang ingin ku tuju.
Ingin menikah saja tapi tak
ada yang ingin menikahi.
Kegelisahanku
ini aku ceritakan pada beberapa teman, dan masukan mereka beragam.
Ada yang sepakat aku segera resign, ada
juga yang menyarankan aku agar lebih baik
dalam
membagi waktu hingga bisa tetap dapat gaji bulanan dengan bekerja,
sembari fokus menata masa depan. Ada juga yang menganggapku lebay,
membesar-besarkan masalah yang (menurut mereka) sebenarnya
sederhana.Tak satupun jawaban yang memberikan pencerahan.
Dengan segala keburaman akan
masa depan itu, tanpa sadar aku memasuki tahun ketiga.
Tahun
2018, aku kembali berganti atasan. Kali ini perempuan. Dan karena
keparnoan akan bekerja dengan sesama perempuan, aku berencana untuk
fokus mencari pekerjaan baru tahun ini sambil tetap bekerja di tempat
yang sama.
Kekhawatiranku beralasan,
sebagai perempuan kita sama-sama ingin dimengerti, sama-sama punya
emosi yang tidak stabil (apalagi masa PMS), sama-sama sulit mengalah,
dan sama-sama yang lain, yang ternyata tidak terbukti kebenarannya.
Bekerja dengan atasan
perempuan jauh lebih menyenangkan karena kita sama-sama paham akan
satu sama lain. Kapan sedang mood atau tidak, kapan semangat,
kapan sedih, kapan bosan, hingga komunikasi berjalan dengan baik.
Bersama
atasan yang perempuan, kami juga mempunyai momen girlstalk
setiap
hari, tak hanya masalah kantor tapi juga hal-hal lain seperti karir
dan jodoh. Atasan perempuan juga jauh lebih pengertian. Ia paham
betul bagaimana mengatur pekerjaan dan menyesuaikan dengan mood-ku
dalam bekerja. Terlebih ia memang sangat rapi dan cekatan hingga
semua ter-manage dengan
baik.
Aku sangat menikmati
hari-hariku bekerja karena mendapat banyak sekali input yang
membuatku bisa melihat dari perspektif baru: dari seorang perempuan
yang lebih dulu mengalami apa yang aku alami.
Satu pesannya yang ku
ingat,โDi sini lo emang gak bisa ngejar karir, tapi lo bisa
nabung buat masa depanโ. Yang kemudian membuatku tak lagi
mengecilkan arti pekerjaan yang telah aku lakukan ini, dan mengingat
tujuan awalku bekerja: mendapatkan gaji bulanan dan tak lagi
bergantung pada orang tua. Setidaknya, tujuan itu telah tercapai.
Maka menjelang ulang tahunku
yang ke-26, aku merenung dan mulai melihat dengan jelas perkara masa
depan dan tujuan hidupku yang selama ini kabur karena berbagai macam
faktor. Salah satunya: kehidupan orang lain di sosial media. Saat ada
teman yang melanjutkan kuliah, aku juga jadi ingin kuliah. Saat ada
teman berbisnis, aku juga ingin berbisnis. Saat teman menikah, juga
jadi ingin menikah. Tanpa aku benar-benar tahu, apa yang sebenarnya
aku inginkan, yang aku butuhkan, dan harusnya aku lakukan.
Dan pada hari ulang tahunku
yang ke-26, aku bisa melihat semuanya dengan jelas, dengan pikiran
yang jernih. Apa yang harusnya aku lakukan, apa yang harusnya aku
tinggalkan. Salah satunya, keputusan untuk resign.
Akhirnya, setelah sempat
berencana dan gagal, aku resign juga.
Bagaimana rasanya?
Lega. Aku merasa sangat
lega. Bahkan saat membereskan meja kerja yang telah aku tempati
selama 3 tahun, aku sama sekali tidak merasa sedih. Saat berpamitan
dengan teman-teman kantor, aku bahkan tidak menitikkan air mata.
Bukan karena tidak
meninggalkan kesan. Tentu saja banyak yang terjadi dan tak semuanya
sedih, ada juga yang menyenangkan. Tapi memang karena waktunya sudah
berakhir. Aku sudah berproses cukup banyak, belajar cukup banyak,
mengalami cukup banyak di tempat ini, dan kini semuanya sudah cukup.
Banyak yang bilang aku
terlalu lama bertahan sebelum akhirnya keluar. Tapi, mungkin rasanya
akan beda jika aku resign setahun atau dua tahun yang lalu.
Keputusan resign saat itu lebih diintervensi oleh emosi sesaat
tanpa persiapan yang matang. Sementara kali ini, aku telah mengambil
keputusan setelah berpikir dengan tenang, juga setelah mengalami
pahit-manis dan jatuh bangun di tempat tersebut.
Banyak juga yang bilang
keputusanku riskan, karena aku belum punya pegangan juga kerja
pengganti setelah keluar. Namun entah kenapa aku sama sekali tidak
merasa panik ataupun cemas. Bagiku, ini saatnya aku berpikir dan
menata ulang masa depan dengan tenang, tanpa perlu terburu-buru masuk
ke dunia kerja baru yang tak jauh beda. Ini saatnya aku mencoba
pengalaman lain dan menikmati masa-masa "tidak terikat"
pada apa-apa. Bisa jadi di masa depan, kesempatan kali ini tidak akan
terulang.
Tidak ada penyesalan, tidak
ada kesedihan. Hanya rasa lega.
Kini, aku merasa lahir
kembali dan bersiap untuk hal-hal menakjubkan yang telah menantiku di
masa depan.
-220119-
Pukul 4 sore
The first step towards getting somewhere is to decide that you are not going to stay where you are
(John Pierpont Morgan)
Sangat Inspiratif ๐๐๐
BalasHapusGood story.
BalasHapusPengen jadi jutawan hanya dengan 20.000
BalasHapusAyo daftar dan mainkan gamenya ya boss
Di Situs Judi Online Terpercaya seAsia
dewalotto Link :
dewalotto.club