Abang
Di antara sekian banyak hal yang saya syukuri
di dunia ini, saya merasa beruntung sekali mempunyai seorang kakak laki-laki.
Karena kodratnya laki-laki melindungi, saya bersyukur mempunyai kakak
laki-laki yang bisa saya andalkan dan
menjaga saya kapan pun, di mana pun, selain Ayah saya tentunya, dan sebelum lelaki lain
yang akan mendampingi saya kelak.
Sudah hampir dua tahun sejak terakhir kali
saya bertemu abang saya. Rekor
paling lama kami tidak bertemu. Bahkan saya tak ingat kapan persisnya terakhir
kali kami bertemu. Dan kalau saya pikir-pikir sekarang,
sesungguhnya memang tak banyak waktu yang saya
habiskan dengannya.
Pun hanya ada segelintir kisah masa kecil yang saya ingat. Hanya pada masa itulah kenangan-kenangan
antara kami terbentuk.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZDr7qP7Tjignh5R1Ccm5wXAjde7YWEWlvUMj5SI-aU6BvYzHB2EvKnVzQwGYJ0mUbJdFyAfiEcRu4KxgclboVKiMlSzkxjLbZPVXPlwCLhFmLKrxqde2oZbRrINaERIT7XltGZzXkHEg/s400/IMG_20160219_0002.jpg)
Sebelum saya masuk
sekolah, saya sering nimbrung Abang saya main dengan teman-temannya. Mulai dari
petak umpet, sampai nonton kartun yang banyak sekali judulnya.
Pertama kali ke
Jakarta, main ke Dufan dan Ancol, juga saya lalui dengan abang saya. Saya masih
ingat sebagian besar kejadian di sana. Bagaimana saya takut berfoto di tengah
badut lalu Abang saya yang mengambil tempat menggantikan saya, masuk istana
boneka hingga dua kali, bagaimana saya tertidur saat kami naik mobil-mobilan
dan ketika bangun Abang saya telah menghabiskan sebagian besar chiki-chiki yang
sebelumnya kami beli satu paket.
Saya dan Abang saya
hanya berjarak 4 tahun. Tapi ia masuk SD lebih cepat setahun dibanding teman-teman
seumurannya. Karena itulah, saat saya masuk SD kelas 1, Abang saya sudah kelas
6.
Hari pertama sekolah,
saya sama sekali tidak membawa buku tulis. Lalu, bu guru menyuruh saya meminta buku pada
Abang saya. Saya pergi ke depan kelasnya dengan ketakutan, lalu Abang saya yang
saat itu belum memulai pelajaran, menghampiri dan memberikan sebuah buku tulis sinar dunia warna hijau pada saya.
Beda dengan SD yang
masuk lebih cepat, di TPA Abang saya justru masuk lebih lama. Alasannya, ada
banyak film kartun di sore hari hingga dia tak ingin mengorbankan waktu
nontonnya. Jadilah ia masuk TPA kelas 3. Maka saat saya masuk TPA kelas 1,
Abang saya kelas 4, tingkat terakhir di TPA.
Sama seperti hari
pertama masuk SD, hari pertama masuk TPA pun saya ketinggalan mukena. Pun waktu
itu saya masih jarang shalat. Jadinya, saya tidak hapal cara berwudhu. Lalu, Abang
saya berdiri di depan tempat wudhu wanita, dan menjelaskan tata cara wudhu.
Setelah itu, ia menyuruh saya untuk pinjam mukena teman saja. Ia pun telat
masuk masjid. Dan pada akhirnya, karena shalat-nya berjamaah, dan setelah itu
kelas dilanjutkan lagi, saya tidak jadi shalat.
Karena anak SD kelas 6
pulangnya lebih lama dari kelas 1, saya tak pernah pulang bersamaan dengan Abang
saya. Sementara pulang dan pergi mengaji kami selalu bersama. Saya masih ingat
pertama kali Abang saya menunjukkan tanaman putri malu saat pulang mengaji. Waktu itu saya takjub sekali. Hingga saat ini,
tiap kali melihat tanaman putri malu, saya teringat Abang saya.
Sayangnya, kebersamaan
dalam satu sekolah dan TPA itu hanya berlangsung satu tahun. Abang saya lanjut
MTsN, sementara saya masih SD.
Dulu, di rumah kami
hanya ada dua kamar. Saat saya naik kelas 2, saya tidur sekamar dengan Abang
saya. Kami juga menghabiskan banyak waktu di kamar itu. Belajar, main, dan yang
paling seru adalah ketika majalah Bobo memberi bonus yang harus dirangkai
sendiri, lalu saya akan memperhatikan bagaimana Abang saya merangkainya. Dan selalu
takub dengan hasilnya. Padahal, kalau diingat-ingat sekarang, itu gampang
sekali karena sudah ada petunjuknya dengan jelas.
Kami juga punya
perjanjian ‘Bantal Guling Empuk’ karena hanya ada satu guling empuk di kamar
itu. Satu lagi guling biasa. Berdasarkan perjanjian tersebut, kami harus bergantian
menggunakan bantal guling empuk itu per satu hari. Namun hanya beberapa saat
saja perjanjian itu batal, dan dengan berat hati abang saya memberikan bantal
guling empuk itu kepada saya. Hihi.
Kami juga sering
menghabiskan waktu (lebih tepatnya saya ikut-ikutan) nonton bersama. Mulai dari
WWF, F-1, Liga Italia, sampai film Scream
dan Chucky, saya tonton bersama Abang
saya. Dulu, saya tomboy sekali. Saya sampai hapal klub-klub Liga Italia, pemain
WWF, dan bahkan update sirkuit
terbaru F-1. Kini, rasanya, saya jadi terlalu feminim.
Naik kelas 3, akhirnya
saya punya kamar sendiri. Saya masih sering nonton bersama Abang saya. Tapi tak
seintens dulu. Karena ia sibuk belajar dan punya teman-temannya sendiri, pun saya
mulai menghabiskan waktu dengan teman-teman saya.
Idit-lah yang kemudian
lebih sering main dengan Abang saya. Minta dibuatkan gambar, main games, juga main smack-down. Sementara saya mulai tak tertarik lagi dengan hal-hal
demikian.
Namun ternyata,
setelah itu, saya tak lagi punya banyak momen kebersamaan dengan Abang saya.
Ia masuk SMA 1 Unggul
Sumatera Barat, hingga harus masuk asrama. Meski jarak sekolahnya hanya
beberapa meter dari rumah, ia tak bisa sering-sering pulang. Ia pun masuk ke
dunia olimpiade Biologi yang membuatnya sering kesana kemari.
Saat kelas 2 MTsN,
saya juga memutuskan untuk masuk asrama. Saya jadi kehilangan banyak momen
penting seperti saat Abang saya pulang dari Beijing, bahkan tak sempat menonton
saat Abang saya tampil di program Who
Wants To Be A Millionaire. Sedih sekali rasanya jika diingat-diingat.
Kemudian Abang saya
melanjutkan kuliah di Bandung. Ia hanya pulang dua kali setahun. Saat Abang
saya tamat kuliah, saya yang kuliah di Medan. Lalu, saat saya tamat kuliah,
Abang saya lanjut kuliah di Amerika. Bahkan saat saya wisuda, tak ada Abang
saya di sana.
Begitulah, Abang kini
hanya ada dalam ingatan dan percakapan-percakapan lewat media sosial. Bahkan
untuk mendengar suaranya dan melihat wajahnya lewat video call sulit dilakukan.
Sejak Abang saya tak
lagi tinggal di rumah, terutama saat ia telah jadi bagian dari Tim Olimpiade,
sejak itu pula saya tak lagi memiliki Abang saya seutuhnya. Ada terlalu banyak
orang yang kemudian mengenalnya, menjadi gurunya, muridnya, juniornya. Bahkan
sempat ada momen saat Abang saya pulang ke kota kami sebagai pelatih olimpiade,
dan ia diharuskan tidur di penginapan, bukan di rumah kami. Waktu ia singgah ke
rumah, ia membawa teman-temannya yang lain dan lebih banyak menghabiskan waktu
di ruang tamu. Sementara kami, dilarang bergabung, karena memang tidak ada
kepentingan. Terasa sekali ada jarak yang terbentang, bahkan saat ia masih berada
di rumah yang sama.
Ada satu momen yang membuat saya merasa kecil sekali.
Waktu Abang saya lulus kuliah di Northwestern
University, FB-nya banjir postingan. Saat itu saya juga hendak mengomentari. Namun
tiba-tiba saya merasa asing dan urung untuk mengomentari setelah membaca
postingan-postingan sebelumnya.
Yang terpikir dalam
benak saya adalah, orang-orang yang berkomentar itu, kebanyakan dosen, rekan kuliah
dan muridnya, lebih mengenal Abang saya yang sekarang. Mereka lebih banyak
menghabiskan waktu bersama Abang saya. Sementara, bagi saya, cerita bersama
Abang saya terhenti saat saya masih SD. Ingatan saya tentang Abang saya hanya
sebatas Abang-yang-pintar-dan-jago-gambar. Saya bahkan tak pernah mendengar Abang saya berbicara Bahasa Inggris. Pikiran ini benar-benar membuat iri
dan sedikit cemburu.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgduZBuyvbEQN4CSYzDLLwL73G_clRikyymKMKaGFvSZm3S6AqTZFcZ1zWAN2nxWyp6bg9o45RSHPTTqyyYTKwx8x5r0T8gSdw__s8gyOJnVE9zMP4YTdPGVWcdWNL579XDESQXeMsK7tg/s400/IMG_20160219_0003.jpg)
Dibandingkan iri dan cemburu, saya harusnya
bangga. Orang yang mereka panggil Pak Ihsan, Bung Ihsan atau apapun itu, orang
yang mereka kagumi, orang yang mengajari mereka sesuatu, orang yang mereka ajak
diskusi mengenai ilmu-ilmu yang tak saya pahami itu, adalah Abang kandung saya.
Dengan kesadaran itu,
akhirnya saya turut menuliskan selamat di kolom komentar.
Kini, dengan segala
perbedaan waktu, dan kesibukan yang tak terkira, baginya, dan mungkin bagi saya,
intensitas kami berkomunikasi sangat jarang sekali. Tapi, Abang saya tetap
selalu bisa diandalkan jika saya mengalami masa-masa sulit. Ia akan meluangkan
waktunya yang sedikit itu untuk mendengar keluh kesah saya, memberi nasehat dan
menyemangati saya. Kadang saya merasa bersalah, namun saya juga tak punya banyak
tempat untuk mencurahkan masalah.
Pernah satu waktu kami
berbincang hingga pagi. Tak hanya saya yang bercerita, ia juga. Di sanalah saya
melihat sisi lain darinya. Betapa selama ini Abang saya pun punya masalah. Ia bukanlah
manusia super yang pintar dan bisa segalanya. Ia juga punya tantangan sendiri
untuk dihadapi. Dan sedihnya, karena ia anak pertama dan role model kami semua, tentu tak mudah baginya menunjukkan
keluhnya. Saat itulah saya merasa berterimakasih karena ia telah membagi beban
itu kepada saya. Walau saya tak bisa membantu, setidaknya saya punya waktu
untuk mendengar ceritanya.
Dan hari ini, Senin 22
Februari 2016, tepat 28 tahun Abang saya ada di dunia ini. Dulu, ia juga lahir
pada hari Senin. Semoga ini menjadi pertanda baik akan tahun ini baginya.
Tulisan ini saya
hadiahkan untuk Abang saya. Mungkin tak terlalu bagus, dan sedikit kepanjangan, karena memang saya sudah terlalu lama tidak menulis, juga terlalu banyak yang ingin saya tuliskan.
Semata untuk mengenang kembali kisah-kisah masa kecil yang telah tertinggal jauh di belakang.
Semata untuk mengenang kembali kisah-kisah masa kecil yang telah tertinggal jauh di belakang.
Juga untuk
mengingatkan betapa berharganya ia bagi kami, dan bagiku khususnya.
Juga untuk
memberitahunya bahwa jika ia lelah, ia bisa beristirahat sejenak dan
mencurahkan keluh kesahnya padaku, adik bayinya yang kini sudah dewasa.
Kini ia masih dalam fase perjuangannya. Saya hanya berharap semoga semangatnya tetap nyala dan apa yang ia harapkan bisa menjadi nyata.
Untuk Abangku, Ihsan Tria Pramanda. Selamat menempuh tahun kedua
puluh delapan. Angka tak bisa mengukur makna. Maka biarlah ia
menghitung dirinya sendiri sementara kita terus berjalan menikmati perjalanan
mewujudkan harapan.
Sampai kapan pun, engkau
akan menjadi sosok yang paling aku banggakan. (:
Jakarta, 23 Februari
2016
1:22 am
nice! :)
BalasHapus