Enam Juli Keenam
Sebuah Catatan Perpisahan
Hari ini 6 Juli. Sejak 6 tahun yang lalu, 6
Juli selalu masuk daftar hari penting tiap tahunku. Selalu aku lingkari di tiap
kalender. Selalu aku nantikan saat Juli datang. Selalu aku pikirkan bagaimana
caranya menyambut hari ini. Hari ulang tahunmu.
Aku ingat, 6 Juli pertama kita, kita sama
sekali belum pernah bicara. Belum pernah saling bertatap muka. Belum pernah
mendengar suara masing-masing, apalagi menatap mata. Hanya sesekali bertemu di
koridor, di kantin, atau di musala. Yang bukannya saling menyapa, malah saling
menunduk malu. Kala itu, pesan singkat yang kita kirim hampir di setiap malam
adalah satu-satunya cara kita berkomunikasi. Media yang membangun hubungan ini.
Tempat kita mengenal satu sama lain. Bertukar
informasi tentang hari kelahiran, jumlah saudara, hobi, lagu kesukaan, film
kesukaan, warna kesukaan, dan informasi data diri lainnya. Tempat kita berbagi
keluh kesah; tentang sekolah, eskul, tugas yang menumpuk, ujian esok hari yang
sulit, gugup saat penampilan band, syndrome
takut bertemu kakak kelas, dan masalah-masalah lainnya. Tempat kita mengisi
kekosongan. Tetap saling bertukar pesan meskipun kita sama sekali tidak punya
bahan untuk diperbincangkan. Sesederhana itu.
Dan pada 6 Juli pertama kita, aku hanya
mampu mengirimkan pesan singkat untukmu. Aku lupa kata-kata seperti apa yang
aku sampaikan. Yang jelas kata-kata itu sudah aku pikirkan sejak jauh-jauh
hari, dan menunggu tiap detik menuju angka 12 demi menjadi orang pertama,
terasa begitu lama dan mendebarkan. Yang juga hanya dibalas pesan singkat
olehmu. Aku lupa kata-kata seperti apa yang kau sampaikan. Yang jelas,
kata-kata itu langsung aku hapal baik-baik dan aku masukkan dalam daftar pesan
yang disimpan.
Aku ingat, 6 Juli kedua kita, segala
sesuatunya berubah drastis. Kita masih bertukar pesan singkat hampir di setiap
malam. Telah menjadi suatu kebiasaan yang rasanya ganjil jika tidak dilakukan.
Namun, pada saat itu kita sudah saling bertemu, berbicara, menatap, dan mendengarkan
suara satu sama lain.
Sengaja bertemu di rumah temanku yang
adalah tetanggamu, pergi makan berdua, bertemu di koridor untuk meminjam buku
atau mengembalikan mp4 player atau
alibi wawancara singkat untuk buletin sekolah.
Namun juga, pada saat itu, kau tak lagi
sendiri. Teman sekelasmu, yang adalah kakak kelas yang paling menyebalkan
menurutku adalah gadis beruntung itu. Rasanya, segalanya porak poranda.
Hubungan ini mulai menuju tahap nyaman, namun harus terusik oleh (menurutku)
orang ketiga. Meskipun pada saat itu, aku sama sekali tidak dinomorduakan. Kau
bilang ada alasan tentang hubungan itu, yang tidak bisa aku mengerti.
Dan pada 6 Juli kedua kita, aku kembali
hanya mampu mengirimkan pesan singkat untukmu. Aku masih ingat dengan samar
kata-kata seperti apa yang aku sampaikan. Intinya, tentu saja kekecewaanku akan
hubungan itu, yang aku rasa telah menggeser posisiku bagimu. Aku sengaja
menjadi orang terakhir yang memberikan ucapan padamu di hari itu. Lalu, kita
saling beradu argumen, disusul ragam kesalahpahaman yang berujung insiden
hingga beberapa hari setelahnya.
Aku ingat, 6 Juli ketiga kita, kita
telah hidup saling berjauhan, beda pulau. Kita sama-sama telah meninggalkan
masa putih abu-abu. Kau memulai hidup baru menjadi mahasiswa, sementara aku
bersiap-siap untuk itu. Pada masa itu, aku benar-benar sangat berharap bisa
kembali berada pada satu tempat yang sama denganmu. Dimensi tempat yang berbeda membuat komunikasi kita tak lagi
selancar dulu.
Kau dengan dunia barumu, aku juga. Kau
mulai bertemu teman-teman perempuan lain, aku juga sempat dekat dengan teman
laki-lakiku. Pada masa itu, aku merasa mulai ada banyak orang lain yang
menggeser posisiku. Kita tak lagi bertukar pesan setiap malam, hanya sesekali.
Aku yang lebih sering memulai, sementara kau lebih banyak ambil bagian sebagai
pendengar. Aku lebih sering menceritakan tentang kehidupanku, sementara kau
jarang. Akulah si aktif, dan kau cukup menjadi pasif. Intesitas pertemuan kita
pun menurun drastis. Hanya beberapa hari saja saat kau pulang pada masa
liburan.
Namun semuanya tetap baik-baik saja. Bagiku,
selama dirimu masih ada, masih membalas pesanku, masih mau mendengar ceritaku, tidak
masalah. Hubungan ini mulai hanya menjadi sekadar formalitas, namun aku masih
berharap lebih pada hubungan ini.
Dan pada 6 Juli ketiga kita, aku kembali
hanya mampu mengirimkan pesan singkat untukmu. Bedanya, sebelumnya aku sempat sengaja
melakukan panggilan tak terjawab ke nomormu selama 19 kali, sesuai umurmu. Aku kembali menjadi yang pertama, meskipun setelahnya aku langsung
tertidur. Kau langsung menelepon setelah itu, namun aku benar-benar terlelap.
Kita sempat bicara siang harinya, meskipun sebentar. Suasananya
benar-benar nyaman dan baik-baik saja.
Aku ingat, 6 Juli keempat kita, takdir
membawaku semakin jauh dari tempatmu berada. Sesuatu yang masih aku sesali
hingga detik ini. Kau semakin larut dengan kehidupanmu. Aktif berorganisasi,
mulai tergila-gila dengan proses pembuatan film, dan mengesampingkan hal-hal
lain. Sementara aku pun mulai larut dengan dunia baru yang sama sekali belum
pernah terbayangkan sebelumnya. Aku sempat menjalin hubungan dengan seseorang,
yang juga sesungguhnya aku sesali hingga saat ini, meskipun pada saat itu cukup
menyenangkan. Sesungguhnya, hubungan itu terjadi karena paksaan banyak pihak.
Padahal, hatiku masih mengarah padamu.
Hubungan kita tak jauh beda. Berjalan di
tempat dan baik-baik saja. Sesekali kita bertukar pesan, sesekali kita saling
menelepon. Namun, perhatianku lebih banyak terusik oleh kehadiran dia. Sehingga
apa yang terjadi pada kita hanya lewat begitu saja di pikiranku.
Dan pada 6 Juli keempat kita, aku masih
hanya mengirimkan pesan singkat untukmu. Pada masa itu, aku masih dilanda galau
luar biasa, akibat hubungan yang aku sesali itu, hingga aku sama sekali tidak
merasakan emosi apa-apa, meskipun aku tetap menunggu pukul 12 malam untuk itu.
Aku ingat, 6 Juli kelima kita, hubungan ini mulai terasa hambar. Tak lagi menjadi sekadar formalitas, namun semakin parah. Aku hanya menjadi bagian dari orang-orang yang kau kenal. Tidak ada lagi bentuk spesialisasi.
Kau dan aku semakin sibuk dengan dunia
masing-masing. Kau masih rajin membuat film, ikut festival, mulai mencoba hobi
baru sebagai backpacker yang
mengembara ke sana ke mari. Aku mulai mendalami kehidupanku sebagai seorang
jurnalis kampus, liputan, menulis berita, mengedit, ikut berbagai kepanitiaan,
yang sebenarnya tetap tak cukup untuk mengalihkan perhatianku dari
memikirkanmu.
Kita masih tetap berkomunikasi, namun tak
lagi punya arah. Kadang intensitasnya cukup sering, namun adakalanya berminggu-minggu
tak ada kabar. Aku, mulai kehilangan dirimu.
Aku merasa kita, -lebih tepatnya aku- hanya berusaha mempertahankan apa yang sudah kita bangun, meskipun sesungguhnya kita sama-sama kabur tentang apa yang sesungguhnya kita pertahankan.
Aku pun mulai bertanya, apa yang sesungguhnya masih aku harapkan dari hubungan ini. Segala sesuatunya menjadi samar, dan tidak ada lagi kemungkinan-kemungkinan baik yang mungkin selama ini aku tunggu.
Aku juga bertanya, apa jadinya jika aku yang selama ini selalu ada dalam lingkaran hidupmu menghilang, tindakan apa yang kira-kira kau lakukan?
Dan pada 6 Juli kelima kita, aku sengaja
tidak memberikan ucapan dalam bentuk apapun. Seharian aku menunggu reaksi apa
yang kau berikan, namun ternyata semuanya berjalan baik-baik saja dalam
hidupmu. Aku pun hanya mampu menertawakan diri sendiri atas kebodohanku. Pada
akhirnya, tetap aku yang membutuhkanmu, dan tetap kembali lagi dalam lingkaran
itu.
Bagiku, meskipun kau tidak membutuhkanku, asalkan kau masih ada selama aku membutuhkanmu, tidak masalah. Meskipun ini hanya menjadi hubungan satu arah, tidak masalah.
Hari ini, 6 Juli keenam kita. Ada terlalu
banyak kejutan yang tidak terduga yang terjadi, yang belum pernah aku bayangkan
sebelumnya. Kejutan luar biasa tentang kedatanganmu di malam Senin yang
tiba-tiba, dengan sekotak bronis dan senyum hangat yang aku rindukan. Kejutan
lain tentang hubunganmu dengan gadis beruntung lainnya, setelah 4 tahun
terakhir alfa.
Kejutan terakhir tentang perubahan drastis atas dirimu; mulai aktif menyoal anti rokok, menyoroti isu-isu politik, sosialisasi penggunaan dinar-dirham, mulai mendalami ilmu-ilmu agama serta isu-isunya, dan mulai berdakwah di media sosial. Hubunganmu dengan gadis beruntung itu pun berakhir.
Dan pada 6 Juli keenam kita, aku hanya
menjalani rutinitasku setiap tahun, mengirimkan pesan singkat tepat tengah
malam, dengan sejumput doa dan harapan akan kebaikanmu.
Sesungguhnya, aku bersyukur dengan tiap perubahanmu, karena kau berubah ke arah yang jauh lebih baik. Jauh lebih baik daripada yang aku kenal 6 tahun lalu. Perubahan ini juga yang pada akhirnya membentangkan semakin jauh lagi jarak antara kita. Perubahan ini juga yang kemudian menyadarkanku bahwa mungkin sudah saatnya aku mulai memikirkan jalanku juga. Seperti yang pernah kau bilang sebelumnya, jalan kita telah berbeda. Hanya saja, aku masih bersikukuh untuk mengikuti jalanmu, hingga akhirnya kau menemukan bentengmu yang tak akan mungkin bisa aku masuki.
Dan pada 6 Juli keenam kita, aku hanya
mampu merenung. Tentang apa yang sesungguhnya aku rasakan saat ini. Dulu,
mungkin ini adalah obesesi, lalu perasaan memiliki dan membutuhkan. Rasanya,
kini semuanya hanyalah sebuah kebiasaan yang sulit aku lupakan. Aku telah
terbiasa menunggumu, terbiasa memikirkanmu, terbiasa mengenangmu sementara
segala sesuatunya telah berubah.
Hidup terus berjalan dan aku tidak mungkin
terus terjebak dalam pusaran ini. Aku harus melepaskan segala bentuk
ketergantungan dan keterikatanku padamu. Lalu mulai menjadi aku, tanpa ada
bayang-bayangmu lagi. Mungkin akan sangat sulit, mengingat begitu lamanya
perasaan ini ada. Tapi aku akan berusaha.
Mungkin tak akan ada lagi 6 Juli ketujuh,
kedelapan, atau kesembilan kita. Mungkin aku tak perlu lagi bersusah-susah merangkai kata dan menunggu
pukul 12 malam untuk menjadi yang pertama. Karena pada masa itu, kita hanya
akan kembali menjadi orang yang saling mengenal. Setara dengan orang-orang yang
kita kenal lainnya.
Kita telah melewati proses yang cukup
panjang. Kita saling mengenal, kemudian berkenalan lebih lanjut, saling mengisi
satu sama lain, merasa keterikatan, lalu hubungan ini menjadi formalitas,
hambar, dan pada akhirnya kembali lagi pada posisi saling mengenal. Menjadi
sama dengan orang kebanyakan.
Segala sesuatunya berasal dari ketiadaan,
dan akan kembali lagi pada ketiadaan.
Mungkin sesekali aku hanya bisa mengenang
apa yang pernah ada, tanpa bisa lagi menciptakan kenangan-kenangan baru.
Sekali lagi, selamat ulang tahun untukmu,
Abangku Terbaik Sedunia. Terimakasih telah menjadi bagian yang baik dalam hidupku. Semoga
Allah selalu menjaga kita dan mempertemukan kita dalam kebaikan. Amin.
Komentar
Posting Komentar