Chapter 32...

Hari ini aku berusia 32 tahun.

Sejak memasuki kepala 3, tiap kali ulang tahun sejujurnya yang terpikirkan hanyalah “Berapa lama lagi jatah hidupku di dunia?”. Mengingat gaya hidupku saat ini, aku tak yakin bisa mencapai dua kali lipat dari usiaku yang sekarang. Kadang-kadang aku takut juga, karena tak terbayang harus meninggalkan Kina di dunia ini sendirian - tapi semoga saat waktunya tiba, ia sudah tumbuh menjadi manusia yang mandiri seutuhnya.

Tentu baiknya yang dipikirkan bukan kapan waktu itu tiba lalu mendekam ketakutan, melainkan apa yang perlu dilakukan hingga saat itu tiba.

Dan di antara hal-hal yang masih ingin aku lakukan adalah:

  • Ingin ibadah di tanah suci :(
  • Membaca semua buku-bukuku - yang sudah menumpuk dan masih akan ditumpuk *lol
  • Lanjut sekolah lagi (kalau bisa di luar negeri sekalian)
  • Jadi penulis yang punya buku fisik

Tidak banyak, tapi berat semua. Entah bagaimana dan mana yang akan menemukan jalannya duluan, aku hanya bisa mengusahakan dan mengharapkan keajaiban.

Sementara itu, hal-hal yang kusadari betul-betul di usia sekarang ini adalah:

  • Pada akhirnya, kita hanya sendirian. Hidup dan mati untuk diri sendiri. Lain-lain di antaranya hanya titipan.

Ketika akhirnya menikah dan mempunyai anak, aku jadi makin menyadari kalau sebenarnya di dunia ini kita hanya sendirian. Melihat anakku yang meski lahir dari rahimku sebagai individu dengan karakternya sendiri terkadang terasa asing, berjauhan dengan suami hingga tak lagi menjadi satu kesatuan utuh, membuatku paham kita punya jalannya sendiri-sendiri untuk menjalani hidup.

Semua ini dipilihkan Tuhan untuk menemaniku di dunia ini dengan satu tujuan pasti: mati dengan membawa bekal yang seharusnya dikumpulkan baik-baik, salah satunya lewat berbaik-baik dengan orang-orang ini.

Maka aku belajar untuk tidak perlu terlalu ‘merayakan’ hubungan, karena semuanya bersifat sementara. Jangankan dengan orang lain, dengan orang-orang terdekat saja sebenarnya ikatan kita hanya setipis itu. Justru yang perlu dipererat adalah hubungan dengan Tuhan sebagai tempat kembali.

  • Melepaskan kemelekatan.

Melanjutkan pembahasan di atas, di usia ini aku juga belajar banyak untuk tidak perlu terikat terlalu dalam dengan apapun karena semua sifatnya sementara. 

Suami yang pribadinya melengkapiku selama 6 tahun ini tiba-tiba dijauhkan, karir yang aku bangun susah payah akhirnya berhenti begitu saja, komunitas yang aku rawat dengan baik harus aku tinggalkan, barang-barang yang dulunya dibeli dan jadi penunjang hidup akhirnya dilepas satu-satu, rencana yang dibuat bisa berubah begitu saja. Ternyata tak ada yang bisa digenggam erat-erat jadi lebih baik tidak perlu membebani diri dengan terlalu banyak hal yang melekat, karena akan jadi berat.

Tidak hanya orang, barang tapi juga waktu, kenangan, perasaan, emosi, harapan - semuanya tak perlu diberikan perhatian berlebihan yang akhirnya mengganggu ketenangan.

Cukup bernapas, bergerak sesuai arahan, selesaikan, lalu ulangi dan lanjutkan.

Harapanku, semoga hidupku ke depannya jadi lebih ringan tanpa harus pusing-pusing memikirkan segala kemelekatan itu.

  • Berharap dan menjelaskan diri pada manusia memang semelelahkan itu. Juga tidak perlu terlalu memikirkan penilaian orang lain tentang apapun.

Pelajaran berharga lainnya adalah aku belajar menerima bahwa lebih baik menyimpan energi untuk tidak berkomentar dibanding sekuat tenaga menjelaskan tentang diri sendiri yang pastinya percuma karena setiap orang punya gambarannya sendiri tentang orang lain, seperti hadis dari Ali Bin Abi Thalib yang intinya: tidak perlu menjelaskan tentang dirimu pada siapapun, karena yang benci tidak akan percaya dan yang sayang tidak memerlukan itu.

Sebagai seseorang yang dulunya berisik dan terbuka, bercerita apa saja pada siapa saja, punya energi untuk berbaik-baik pada semua orang - kini perlahan aku mulai berusaha untuk tidak reaktif, juga menghemat aliran kata-kata yang perlu dikeluarkan dari mulutku. Apakah ini efek punya suami introvert atau karena memang sudah tidak ada tenaga untuk bicara panjang, entahlah.

Yang jelas ternyata menyenangkan juga, membiarkan orang pusing dengan penilaiannya tentang kita, tanpa kita pernah merespon balik hingga mereka kelimpungan sendiri dengan penilaiannya itu.

Ohya, aku juga sudah tidak begitu peduli lagi tentang bagaimana orang lain melihat penampilanku. Kini aku hanya memakai dan bergaya sesuai kenyamananku - yang menurutku pertanda baik karena artinya aku sudah menerima diriku apa adanya tanpa butuh validasi orang lain (setidaknya untuk penampilan).

Fokus pada diri sendiri, mencintai diri sendiri - istilah-istilah yang pada usia 20-an masih ku pertanyakan apa maknanya kini sudah mulai bisa kurasakan seperti apa maksudnya.

  • Bergantung dan hanya bergantung pada Allah.

Terakhir, pelajaran yang ku ilhami betul-betul di usia baru ini adalah, hanya bisa meletakkan harapan setinggi-tingginya pada bagaimana Tuhan hendak mengarahkan jalur hidupku ke mana. Segala rencana dan usaha perlu dilakukan sebagai bentuk ikhtiar manusia, namun ruang untuk segala kemungkinan lain perlu disediakan lebar-lebar biar tak terlalu kecewa, dan bisa menampung kemungkinan-kemungkinan lain itu dengan lapang.

Segala perubahan besar di hidupku setahun terakhir, dan segala ketidakpastian yang seakan menerjang dari depan, cuma bisa membuatku banyak-banyak berdoa, dan mengucapkan mantra “Semua akan baik-baik saja, Allah tau yang terbaik untuk umatnya, mari berserah!” - hingga tugasku menjadi umatnya yang berusaha agar doanya didengar dan agar segala apapun yang terjadi dalam hidupku ini tidak lagi membuatku mempertanyakan “apa dan kenapa” tapi bisa berkomentar “ohya, mungkin sudah begini jalannya”.

Demikianlah catatan perjalananku yang semakin menua. Semoga masih bisa bermanfaat buat banyak orang dan punya hidup yang penuh keberkahan. (:

Komentar