Renungan Libur Lebaran


Semenjak menjadi pegawai kantoran di ibukota, libur lebaran adalah satu-satunya jalan bagiku untuk pulang ke kampung halaman. Dan libur lebaran tahun 2018 ini adalah libur yang (harusnya) paling menggembirakan karena cuti bersama yang membuat libur lebih lama yaitu sampai 12 hari, yang kemudian aku tambah sendiri menjadi 14 hari. Namun tak seperti libur lebaran tahun-tahun sebelumnya, libur lebaran tahun ini justru menjadi yang paling sepi dan banyak kuhabiskan sendiri dan hanya bersama keluarga inti.

Biasanya, pada lebaran hari pertama dan kedua, aku mengunjungi saudara yang tinggal di kota berbeda. Kemudian libur lebaran hari ketiga dst, diisi dengan beragam reunian mulai dari: reuni teman SD, teman segeng SMP, teman sekelas SMA, teman segeng SMA, teman main zaman kuliah dll. Belum lagi silaturahmi ke rumah guru A atau guru B.  Kadang saking banyaknya reunian, tidak semua teman-teman apalagi guru yang bisa ditemui.

Namun tahun ini berbeda. Aku tak lagi mengunjungi sanak saudara di libur lebaran hari pertama dan kedua, pun tak ada reuni dan kumpul-kumpul dengan teman lama. Hampir semua grup sepi, terhenti setelah ucapan “maaf lahir batin” tanpa ada kelanjutan “kapan ngumpul?” seperti biasa.

Sempat aku paksakan untuk reuni teman sekelas SMA yang biasanya selalu jadi rutinitas tanpa absen setiap tahun, namun yang hadir cuma 3 dari 22 orang saja. Padahal biasanya bisa hadir setidaknya 10-12 orang.

Pun aku pribadi tak punya hasrat untuk jadi inisiator seperti biasa. Aku sadar ini sudah bukan lagi masanya untuk haha-hihi seperti dulu. Di usia seperempat abad seperti sekarang, tiap orang mulai merintis babak baru dalam hidup mereka: yang sudah menikah, sedang belajar menjadi keluarga; yang sudah kerja beberapa tahun, mungkin sedang berusaha keluar dari zona nyaman dan mencari tantangan baru; yang sedang lanjut kuliah, sedang berjuang untuk segera menyelesaikan tesisnya; yang sudah magister, sedang berusaha menemukan tempat di mana ilmunya bisa bermanfaat dan menjadi ahli di bidangnya; yang baru sumpah dokter, sedang mencicipi kehidupan intensif seorang dokter yang sebenarnya; yang hidupnya masih jalan di tempat (seperti aku) juga sedang berpikir keras dan mengira-ngira hendak kemana hidupnya akan dibawa.

Hidup kemudian dipenuhi dengan diri sendiri dan ambisi pribadi. Hingga berkumpul, bercanda, bertukar cerita kemudian menjadi pilihan akhir dilakukan jika ada waktu yang tersisa, bukan lagi menyediakan waktu yang ada, seperti saat muda dulu.

Maka, sebagai orang yang masih tertinggal beberapa langkah dari kebanyakan teman sejawatku, libur lebaran kali ini aku kembali diingatkan untuk kembali fokus pada diri sendiri dengan segala harapan dan mimpi-mimpi jangka panjangnya. Waktu yang ada, sebisa mungkin dimanfaatkan untuk pengembangan diri, dibandingkan bernostalgia dengan cerita masa lalu yang itu-itu saja. 

Bukan tidak penting, tentu silaturahmi tetap harus dijaga. Namun proporsi waktunya tak bisa lagi sebanyak dulu. Semakin bertambah usia, semakin banyak pula tanggung jawab yang kita punya. Dan waktu yang kita miliki, harus dibagi dengan segala tanggung jawab itu.

Di masa yang akan datang, reuni tiap tahun tentu akan berkurang jadi dua tahun sekali, lalu semakin jarang sampai sewindu atau satu dasawarsa. Namun demikian, reuni yang makin jarang itu justru akan menghadirkan cerita yang jauh lebih seru karena banyak yang terjadi dalam rentang waktu itu. Seiring pencapaian yang berbeda pada masing-masing individu, juga orang-orang baru yang turut hadir dalam cerita-cerita itu.

-210718-
(jelang tengah malam)

 

Komentar

Posting Komentar