Menjadi Dua Lima



Hari ini 3 September 2017.

Raisa dan Hamish akhirnya menikah, sorak sorai perayaannya memenuhi TV dan media sosial dari kemarin dan untuk beberapa hari ke depan. Dalam egoisku, sejujurnya aku kesal sekali dengan Raisa, bukan karena ia menikahi Hamish (dia seorang Raisa, loh) namun itu artinya, sejak 3 September tahun ini, hingga 3 September tahun-tahun selanjutnya, aku harus berbagi hari bahagia yang dulunya hanya milikku seorang dengan dirinya, seorang Raisa yang dielukan semesta (karena 3 September bukan hari besar dan tak pernah dirayakan besar-besaran kecuali oleh diriku sendiri).

Hari ini 3 September 2017. Aku berumur 25 tahun. (Ini sebenarnya inti ceritanya.)

Banyak yang telah terjadi dalam waktu setahun terakhir. Girls Generation sudah debut 10 tahun. Song-Song Couple akan menikah. Gitasav yang dulunya hanya seorang vloger, kini sudah jadi artis, penyanyi, dan penulis buku. Kirana sudah mau masuk sekolah.  Rendy Pandugo yang dulu hanya kunikmati di soundcloud kini sudah wara-wiri di TV dan radio juga sudah punya album sendiri. Mereka-mereka yang aku ikuti kehidupannya di media sosial, dalam setahun memiliki hidup yang amat dinamis. 

Lalu aku memperhatikan pencapaian-usia-25 bagi sekelilingku. Di usia 25 tahun kurang beberapa bulan, Ibuku menikah. Teman-temanku, ada yang sudah berhasil mendirikan start-up. Ada yang sudah dan sedang mengambil program magister. Ada yang sudah resmi menjadi dokter. Ada yang sudah bekerja di luar negeri. Ada yang sudah jadi dosen. Ada yang sudah jadi profesional di tempat kerjanya. Ada yang sudah menerbitkan buku. Ada yang sukses berbisnis online. Ada yang sudah menikah dan memiliki anak. 

Sementara hidupku, statis. Tidak terjadi perubahan yang signifikan setahun ini, semua masih sama pada tempatnya. Bekerja di tempat yang sama, tinggal di tempat yang sama, berkumpul dengan orang-orang yang sama, juga status yang masih sama.

Kedinamisan hidup orang-orang di sekelilingku kadang membuatku merasa tertinggal jauh. Kadang aku merasa malu, kalau melihat daftar rencana hidup yang sudah ku tulis beberapa tahun yang lalu, tak satu pun dari daftar itu yang tercapai. Bahkan mendekati pun tidak.

Kadang ini membuatku merasa rendah diri, apakah memang aku kurang bekerja keras dan kurang berjuang hingga aku belum memiliki pencapaian seperti yang mereka miliki sekarang. Sempat juga terpikir, apa aku kurang banyak beribadah dan kurang banyak berdoa hingga hal-hal yang kuimpikan masih jauh dari jangkauan. 

Lalu aku tersadar, bahwa umur tidak bisa dijadikan tolak ukur yang seragam untuk semua pencapaian manusia. Setiap orang pasti sudah punya babak-babak tersendiri dalam hidupnya. Kita hanya punya 24 jam dalam sehari beserta dengan fokus dan prioritasnya masing-masing. Sestatis apapun aku merasa hidupku sekarang, ia pasti akan berubah, berpindah, bergeser, cepat atau lambat. 

Ibuku selalu bilang,”Jangan mengecilkan arti perjuangan yang telah susah payah kamu lakukan”. 

Mungkin perjuanganku belum memberikan hasil yang fantastis dan terukur seperti orang-orang. Namun aku percaya, selalu ada nilai dari setiap hal yang aku habiskan setiap harinya. 

Bagaimana bersabar untuk setiap hasil yang tak sesuai keinginan. Bagaimana berprasangka baik akan setiap keputusan-Nya. Bagaimana ikhlas menjalankan hal-hal yang tak kusukai namun harus tetap kuhadapi. Bagaimana tetap berjuang meski kadang aku pribadi tak tau apa sebenarnya yang sedang ku perjuangkan. Bagaimana untuk tetap percaya bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya. Bagaimana menerima dengan lapang dada, seberapa banyak rezeki yang aku miliki sekarang berarti hanya itulah yang berhak aku miliki saat ini. Bagaimana yakin bahwa serumit apapun jalan hidup yang kumiliki sekarang, aku akan tetap sampai pada tujuan. Bagaimana mencintai diri sendiri dan berhenti membandingkan diri dengan orang lain. 

Mungkin bagi orang-orang sekitarku, tak banyak yang berubah dari kepribadianku setelah menjadi dua-lima. Masih terlihat manja, cengeng, suka mengeluh, skeptis dan hal-hal-belum-dewasa-lainnya. Tapi tak apa. Namanya juga aku masih belajar menuju dewasa. Menjadi dua-lima bukan berarti aku serta merta berubah menjadi anggun, pendiam, berhati-hati, keibuan dan tenang dalam sekejap saja. Setidaknya, saat menjadi dua-lima, aku makin paham diriku baik-buruknya, berusaha sebaik-baiknya untuk menunjukkan yang baik dan menekan yang buruk. 

Pemahaman akan keseluruhan diri sendiri, bagiku itulah pencapaian terbesarku di usia dua-lima. Keluar dari tempurung dan melihat dunia dengan lebih bebas dan nyata.

Kini yang bisa aku lakukan hanyalah terus hidup, berjalan, membuat progress sedikit demi sedikit tanpa perlu percepatan yang dipaksakan, mencintai diriku lebih banyak lagi, menjadi pribadi yang lebih bermanfaat bagi semua makhluk, dan tidak memaksakan diriku untuk melakukan sesuatu yang di luar batas kemampuanku, tak ingin dikotak-kotakan waktu hingga rasanya mencekik, cukup melakukan sebaik yang aku bisa lalu pasrah saja.

Menikmati hidup hari ini, cukup hari ini, benar-benar menikmati, tanpa harus rusuh memikirkan masa depan yang jauh dan tak dapat disentuh. 

Selamat menjadi dua-lima, diriku. Berbahagialah, bersukacitalah telah menjadi bagian luar biasa dari semesta ini. Tak ada yang sia-sia, begitupun kehadiranmu di dunia. Percayalah, mungkin belum sekarang, tapi nanti, kau akan bersinar juga. 


-070917-
05:15 pm
(setelah empat hari berlalu dari menjadi dua lima)

 

Komentar

Posting Komentar