Langsung ke konten utama

Abang

Di antara sekian banyak hal yang saya syukuri di dunia ini, saya merasa beruntung sekali mempunyai seorang kakak laki-laki. Karena kodratnya laki-laki melindungi, saya bersyukur mempunyai kakak laki-laki  yang bisa saya andalkan dan menjaga saya kapan pun, di mana pun, selain Ayah saya tentunya, dan sebelum lelaki lain yang akan mendampingi saya kelak.

Sudah hampir dua tahun sejak terakhir kali saya bertemu abang saya. Rekor paling lama kami tidak bertemu. Bahkan saya tak ingat kapan persisnya terakhir kali kami bertemu. Dan kalau saya pikir-pikir sekarang, sesungguhnya memang tak banyak  waktu yang saya habiskan dengannya.
Pun hanya ada segelintir kisah masa kecil yang saya ingat. Hanya pada masa itulah kenangan-kenangan antara kami terbentuk.

Kata Emak, dulu Abang memang menginginkan adik perempuan. Dan kalau adik itu lahir, ia ingin menamainya Hadissa. Lalu, hadirlah saya ke dunia, dan diberi nama Hadissa. Meski tak banyak, tapi dari foto-foto yang ada, saya bisa merasakan betapa gembiranya ia kala itu. Tak sekalipun tangannya lepas dari memeluk saya. Semoga hingga kini, kehadiran saya masih menjadi sesuatu yang menggembirakan baginya.

Sebelum saya masuk sekolah, saya sering nimbrung Abang saya main dengan teman-temannya. Mulai dari petak umpet, sampai nonton kartun yang banyak sekali judulnya.

Pertama kali ke Jakarta, main ke Dufan dan Ancol, juga saya lalui dengan abang saya. Saya masih ingat sebagian besar kejadian di sana. Bagaimana saya takut berfoto di tengah badut lalu Abang saya yang mengambil tempat menggantikan saya, masuk istana boneka hingga dua kali, bagaimana saya tertidur saat kami naik mobil-mobilan dan ketika bangun Abang saya telah menghabiskan sebagian besar chiki-chiki yang sebelumnya kami beli satu paket.

Saya dan Abang saya hanya berjarak 4 tahun. Tapi ia masuk SD lebih cepat setahun dibanding teman-teman seumurannya. Karena itulah, saat saya masuk SD kelas 1, Abang saya sudah kelas 6.
Hari pertama sekolah, saya sama sekali tidak membawa buku tulis. Lalu, bu guru menyuruh saya meminta buku pada Abang saya. Saya pergi ke depan kelasnya dengan ketakutan, lalu Abang saya yang saat itu belum memulai pelajaran, menghampiri dan memberikan sebuah buku tulis sinar dunia warna hijau pada saya.

Beda dengan SD yang masuk lebih cepat, di TPA Abang saya justru masuk lebih lama. Alasannya, ada banyak film kartun di sore hari hingga dia tak ingin mengorbankan waktu nontonnya. Jadilah ia masuk TPA kelas 3. Maka saat saya masuk TPA kelas 1, Abang saya kelas 4, tingkat terakhir di TPA.
 
Sama seperti hari pertama masuk SD, hari pertama masuk TPA pun saya ketinggalan mukena. Pun waktu itu saya masih jarang shalat. Jadinya, saya tidak hapal cara berwudhu. Lalu, Abang saya berdiri di depan tempat wudhu wanita, dan menjelaskan tata cara wudhu. Setelah itu, ia menyuruh saya untuk pinjam mukena teman saja. Ia pun telat masuk masjid. Dan pada akhirnya, karena shalat-nya berjamaah, dan setelah itu kelas dilanjutkan lagi, saya tidak jadi shalat.

Karena anak SD kelas 6 pulangnya lebih lama dari kelas 1, saya tak pernah pulang bersamaan dengan Abang saya. Sementara pulang dan pergi mengaji kami selalu bersama. Saya masih ingat pertama kali Abang saya menunjukkan tanaman putri malu saat pulang mengaji.  Waktu itu saya takjub sekali. Hingga saat ini, tiap kali melihat tanaman putri malu, saya teringat Abang saya.

Sayangnya, kebersamaan dalam satu sekolah dan TPA itu hanya berlangsung satu tahun. Abang saya lanjut MTsN, sementara saya masih SD.

Dulu, di rumah kami hanya ada dua kamar. Saat saya naik kelas 2, saya tidur sekamar dengan Abang saya. Kami juga menghabiskan banyak waktu di kamar itu. Belajar, main, dan yang paling seru adalah ketika majalah Bobo memberi bonus yang harus dirangkai sendiri, lalu saya akan memperhatikan bagaimana Abang saya merangkainya. Dan selalu takub dengan hasilnya. Padahal, kalau diingat-ingat sekarang, itu gampang sekali karena sudah ada petunjuknya dengan jelas.

Abang saya juga suka membuatkan gambar yang nantinya suka saya pamerkan di sekolah. Juga sering mengadakan story telling dengan tokoh utama Si Komo sebagai monster, dan mainan robot-robot sebagai pahlawannya.

Kami juga punya perjanjian ‘Bantal Guling Empuk’ karena hanya ada satu guling empuk di kamar itu. Satu lagi guling biasa. Berdasarkan perjanjian tersebut, kami harus bergantian menggunakan bantal guling empuk itu per satu hari. Namun hanya beberapa saat saja perjanjian itu batal, dan dengan berat hati abang saya memberikan bantal guling empuk itu kepada saya. Hihi.

Kami juga sering menghabiskan waktu (lebih tepatnya saya ikut-ikutan) nonton bersama. Mulai dari WWF, F-1, Liga Italia, sampai film Scream dan Chucky, saya tonton bersama Abang saya. Dulu, saya tomboy sekali. Saya sampai hapal klub-klub Liga Italia, pemain WWF, dan bahkan update sirkuit terbaru F-1. Kini, rasanya, saya jadi terlalu feminim.

Naik kelas 3, akhirnya saya punya kamar sendiri. Saya masih sering nonton bersama Abang saya. Tapi tak seintens dulu. Karena ia sibuk belajar dan punya teman-temannya sendiri, pun saya mulai menghabiskan waktu dengan teman-teman saya.

Idit-lah yang kemudian lebih sering main dengan Abang saya. Minta dibuatkan gambar, main games, juga main smack-down. Sementara saya mulai tak tertarik lagi dengan hal-hal demikian.

Namun ternyata, setelah itu, saya tak lagi punya banyak momen kebersamaan dengan Abang saya.

Ia masuk SMA 1 Unggul Sumatera Barat, hingga harus masuk asrama. Meski jarak sekolahnya hanya beberapa meter dari rumah, ia tak bisa sering-sering pulang. Ia pun masuk ke dunia olimpiade Biologi yang membuatnya sering kesana kemari.

Saat kelas 2 MTsN, saya juga memutuskan untuk masuk asrama. Saya jadi kehilangan banyak momen penting seperti saat Abang saya pulang dari Beijing, bahkan tak sempat menonton saat Abang saya tampil di program Who Wants To Be A Millionaire. Sedih sekali rasanya jika diingat-diingat.

Kemudian Abang saya melanjutkan kuliah di Bandung. Ia hanya pulang dua kali setahun. Saat Abang saya tamat kuliah, saya yang kuliah di Medan. Lalu, saat saya tamat kuliah, Abang saya lanjut kuliah di Amerika. Bahkan saat saya wisuda, tak ada Abang saya di sana.

Begitulah, Abang kini hanya ada dalam ingatan dan percakapan-percakapan lewat media sosial. Bahkan untuk mendengar suaranya dan melihat wajahnya lewat video call sulit dilakukan.

Sejak Abang saya tak lagi tinggal di rumah, terutama saat ia telah jadi bagian dari Tim Olimpiade, sejak itu pula saya tak lagi memiliki Abang saya seutuhnya. Ada terlalu banyak orang yang kemudian mengenalnya, menjadi gurunya, muridnya, juniornya. Bahkan sempat ada momen saat Abang saya pulang ke kota kami sebagai pelatih olimpiade, dan ia diharuskan tidur di penginapan, bukan di rumah kami. Waktu ia singgah ke rumah, ia membawa teman-temannya yang lain dan lebih banyak menghabiskan waktu di ruang tamu. Sementara kami, dilarang bergabung, karena memang tidak ada kepentingan. Terasa sekali ada jarak yang terbentang, bahkan saat ia masih berada di rumah yang sama.

Ada satu momen yang membuat saya merasa kecil sekali. 

Waktu Abang saya lulus kuliah di Northwestern University, FB-nya banjir postingan. Saat itu saya juga hendak mengomentari. Namun tiba-tiba saya merasa asing dan urung untuk mengomentari setelah membaca postingan-postingan sebelumnya.

Yang terpikir dalam benak saya adalah, orang-orang yang berkomentar itu, kebanyakan dosen, rekan kuliah dan muridnya, lebih mengenal Abang saya yang sekarang. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama Abang saya. Sementara, bagi saya, cerita bersama Abang saya terhenti saat saya masih SD. Ingatan saya tentang Abang saya hanya sebatas Abang-yang-pintar-dan-jago-gambar. Saya bahkan tak pernah mendengar Abang saya berbicara Bahasa Inggris. Pikiran ini benar-benar membuat iri dan sedikit cemburu.

Tapi akhirnya saya sadar. Sejauh apapun Abang saya melangkah, sebanyak apapun orang yang ia temui, seintens apapun hubungannya dengan orang itu, kami tetap mengaliri darah yang sama. Ia tetaplah Abang saya, lahir dari rahim yang sama dengan saya. Dan itu, tak tergantikan oleh siapapun.

Dibandingkan iri dan cemburu, saya harusnya bangga. Orang yang mereka panggil Pak Ihsan, Bung Ihsan atau apapun itu, orang yang mereka kagumi, orang yang mengajari mereka sesuatu, orang yang mereka ajak diskusi mengenai ilmu-ilmu yang tak saya pahami itu, adalah Abang kandung saya.

Dengan kesadaran itu, akhirnya saya turut menuliskan selamat di kolom komentar.

Kini, dengan segala perbedaan waktu, dan kesibukan yang tak terkira, baginya, dan mungkin bagi saya, intensitas kami berkomunikasi sangat jarang sekali. Tapi, Abang saya tetap selalu bisa diandalkan jika saya mengalami masa-masa sulit. Ia akan meluangkan waktunya yang sedikit itu untuk mendengar keluh kesah saya, memberi nasehat dan menyemangati saya. Kadang saya merasa bersalah, namun saya juga tak punya banyak tempat untuk mencurahkan masalah.

Pernah satu waktu kami berbincang hingga pagi. Tak hanya saya yang bercerita, ia juga. Di sanalah saya melihat sisi lain darinya. Betapa selama ini Abang saya pun punya masalah. Ia bukanlah manusia super yang pintar dan bisa segalanya. Ia juga punya tantangan sendiri untuk dihadapi. Dan sedihnya, karena ia anak pertama dan role model kami semua, tentu tak mudah baginya menunjukkan keluhnya. Saat itulah saya merasa berterimakasih karena ia telah membagi beban itu kepada saya. Walau saya tak bisa membantu, setidaknya saya punya waktu untuk mendengar ceritanya.

Dan hari ini, Senin 22 Februari 2016, tepat 28 tahun Abang saya ada di dunia ini. Dulu, ia juga lahir pada hari Senin. Semoga ini menjadi pertanda baik akan tahun ini baginya.

Tulisan ini saya hadiahkan untuk Abang saya. Mungkin tak terlalu bagus, dan sedikit kepanjangan, karena memang saya sudah terlalu lama tidak menulis, juga terlalu banyak yang ingin saya tuliskan.

Semata untuk mengenang kembali kisah-kisah masa kecil yang telah tertinggal jauh di belakang.

Juga untuk mengingatkan betapa berharganya ia bagi kami, dan bagiku khususnya.

Juga untuk memberitahunya bahwa jika ia lelah, ia bisa beristirahat sejenak dan mencurahkan keluh kesahnya padaku, adik bayinya yang kini sudah dewasa.

Kini ia masih dalam fase perjuangannya. Saya hanya berharap semoga semangatnya tetap nyala dan apa yang ia harapkan bisa menjadi nyata.

Untuk Abangku, Ihsan Tria Pramanda. Selamat menempuh tahun kedua puluh delapan. Angka tak bisa mengukur makna. Maka biarlah ia menghitung dirinya sendiri sementara kita terus berjalan menikmati perjalanan mewujudkan harapan.

Sampai kapan pun, engkau akan menjadi sosok yang paling aku banggakan. (:



Jakarta, 23 Februari 2016
1:22 am

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Book) Love, Stargirl by Jerry Spinelli

Buku ini didedikasikan bagi mereka yang belum bisa move on dari orang yang disukainya, meskipun telah hidup berjauhan. Tulisan ini mungkin tidak banyak mengulas tentang unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik buku ini . Karena aku ingin berbagi tentang sosok Stargirl dan ceritanya tentang move on . Buku ini adalah surat panjang Stargirl kepada Leo, yang ia tulis setiap hari. Lengkap dengan tanggal dan bulan kejadian. Stargirl menceritakan seluruhnya pada Leo tanpa ada yang ia sembunyikan. Hingga tidak ada batasan-batasan bab dalam buku ini. Persis seperti membaca buku harian. Apa yang ingin disampaikan Stargirl dalam suratnya adalah segala upaya yang dia lakukan untuk move on dari Leo. Bagaimana ia menyibukkan dirinya untuk melupakan Leo dengan bermain bersama Dootsie dan Alvina yang jauh lebih muda darinya, mengunjungi Betty Lou yang terkena agoraphobia, Mergie di kedai donatnya, atau Charlie yang setiap hari duduk di sebelah makam istrinya, Grace. Ia kembali

Bicara Tentang Penulis (Paling) Favorit: Winna Efendi

Hampir semua orang terdekatku tau betapa aku menyukai Winna Efendi. Tiap kali selesai membaca bukunya, atau tanpa sengaja melihat bukunya dipajang di toko buku, aku selalu semangat bercerita tentang Winna dan karya-karyanya. Ada yang sampai penasaran dan akhirnya ikut baca buku Winna. Ada juga yang mungkin sampai bosan karena tidak pernah kenal dan baca buku Winna. Winna Efendi mungkin tidak sekaliber Dee atau Ika Natassa (meskipun beberapa karyanya juga telah difilmkan) yang bahkan-orang-yang-belum-pernah-baca-buku-mereka-pun tau atau setidaknya pernah mendengar nama mereka. Winna memang punya fans yang lebih segmented , kalau aku pribadi mengklasifikasikan: mereka penyuka cerita cinta sederhana yang mellow dan sendu. Pun sosok Winna sendiri lebih suka muncul lewat karya-karyanya dan tidak begitu aktif menujukkan diri di sosial media. Bahkan di instagram pribadinya, tidak pernah ada foto diri apalagi kehidupan pribadinya. Hingga sebagai penggemarnya aku cukup puas mengenalnya

(Movie) Nada Sousou -2007

Synopsis Ini adalah kisah seorang anak laki-laki bernama Youta, yang harus mengalami pahit manis hidup saat dia masih terlalu dini untuk mencerna setiap kejadian yang terjadi dalam hidupnya. Ibunya menikah dengan seorang seniman, yang punya seorang anak perempuan bernama Kaoru. Sedari awal, ibunya telah menegaskan ia untuk menjaga Kaoru sebaik mungkin. Lalu mereka menjadi akrab dan keluarga kecil mereka hidup bahagia. Namun yang terjadi kemudian di luar dugaan. Sang ayah pergi meninggalkan keluarga tersebut, lalu si ibu menjadi stress dan sering mabuk. Pada akhirnya ibunya sakit parah dan meninggal dunia. Sebelum meninggal pun, ibunya tetap berpesan pada Youta untuk menjaga Kaoru. Youta kecil pun membawa Kaoru ke tempat neneknya di seberang pulau. Lalu mereka hidup di sana hingga akhirnya Youta kembali lagi ke kota pada umur 16 tahun dan bekerja keras. Ia putus sekolah dan berusaha mencari uang sebanyak mungkin agar adiknya bisa bersekolah lebih tinggi darinya. Hara