Catatan 8 Bulan Mencari Kehidupan

Hari ini 8 Agustus 2015. Tepat 8 bulan sejak saya ditasbihkan sebagai sarjana, 8 Desember 2014.

Delapan bulan. Rasanya waktu benar-benar begitu cepat berlalu, sementara saya hingga detik ini masih belum sampai pada tujuan utama tahun ini: punya pekerjaan.

Dulu, tiap bertemu orang yang belum dapat pekerjaan dalam waktu yang lama, sering tebersit dalam hati ‘kasian ya, masih nganggur,” atau ‘kenapa ya dia belum dapat kerja’. Tapi, setelah mengalaminya sendiri, ternyata tidak seberat yang dibayangkan orang-orang. Mungkin begitu juga yang mereka rasakan. Orang-orang mungkin risih dan berempati, tapi sesungguhnya, saya biasa-biasa saja.

Bukannya tidak ada tekanan. Tiap kali melihat teman-teman sepermainan yang sudah sukses, tentu ada rasa iri, keinginan untuk segera dapat pekerjaan, dan punya kehidupan sendiri. Bahkan ada masa-masa ketika saya merasa benar-benar down dan putus asa, mengapa mereka tak butuh waktu lama untuk dapat kerja sementara saya masih begini-begini saja.

Tapi saya percaya bahwa setiap orang sudah diatur rezekinya masing-masing. Tiap orang pasti melalui rintangan yang beda-beda untuk mendapatkan apa yang mereka punya saat ini. Tiap orang juga punya cerita perjuangannya sendiri. Dan semuanya tidak ada yang sama.

Selama delapan bulan ini, bukan berarti saya tidak melakukan apapun. Tentu saya juga mengusahakan sesuatu untuk mendapatkan pekerjaan. Saya juga punya banyak hal untuk dikerjakan. Dan tulisan ini adalah cerita saya selama delapan bulan terakhir. Bukan untuk mencari empati, apalagi pamer. Semata untuk jadi catatan penyemangat bagi saya pribadi, bahwa delapan bulan ini sama sekali tidak sia-sia.

Desember 2014. Setelah masa sidang, saya fokus menulis esai untuk menjadi Pengajar Muda, sebuah impian terbesar dalam hidup saya, yang sudah terbangun sejak tiga tahun yang lalu. Saya mempersiapkan 12 esai tersebut dengan matang, tak lupa bertanya pada seorang kenalan yang juga Pengajar Muda sebelumnya. Tekad saya benar-benar bulat, dan harapan saya benar-benar tinggi. Pendaftaran ditutup 15 Desember. Setelah natal, saya pun pulang ke rumah.

Januari. Saya mendapat kabar lulus Seleksi I Indonesia Mengajar, dan berhak ikut Seleksi II akhir Januari. Betapa harapan itu semakin subur. Sebulan di rumah, kembali saya mempersiapkan diri untuk seleksi yang paling menentukan itu. Saya melakukan berbagai macam riset, belajar mengajar, mempersiapkan materi interview, segalanya yang saya harapkan mampu membawa saya lulus sebagai Pengajar Muda. Pertengahan Januari saya kembali ke Medan.

Tes berlangsung  pada 30 Januari. Benar-benar melelahkan, tapi saya benar-benar banyak mendapat pengalaman, juga teman-teman baru yang jauh lebih mapan. Pada saat itu, saya sudah pasrah. Setidaknya saya sudah melakukan yang terbaik.

Februari. Persiapan jelang wisuda akhir bulan. Bolak-balik kampus mengurus administrasi. Saya juga banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman yang pada masa-masa sibuk skripsi susah ketemuan.
Pertengahan bulan, pengumuman IM keluar. Saya, tidak lulus. Saya sedih, tentu saja. Tapi tidak kecewa, apalagi marah. Mungkin saya memang masih terlalu muda untuk mengabdi. Saya harus memantaskan diri saya dulu agar siap. Lalu saya bertekad untuk mencoba lagi periode selanjutnya.

Saya diwisuda 25 Februari. Keluarga saya datang sehari sebelumnya.Sayangnya, tanpa kehadiran abang. Rasanya campur aduk. Setelah selama ini hanya datang sebagai tamu wisudaan, akhirnya saya diwisuda. Satu-satunya hadiah yang bisa saya berikan pada orangtua saya sejauh ini.

Maret. Saya kembali menghabiskan banyak waktu dengan teman-teman saya. Berhubung saya tidak berencana menetap di Medan, maka harus diciptakan banyak momen untuk dikenang. Jalan-jalan keluar kota, nongkrong, nonton, karaoke. Saya berencana pulang awal bulan, namun adik-adik saya di SUARA USU meminta saya untuk memberikan pelatihan di awal dan akhir bulan, yang saya iyakan sebagai bentuk pengabdian. Saya juga menemukan ketertarikan baru membuat scrapbook dan menghabiskan waktu dengan itu.

Sementara masa depan masih kelabu.

Saat itu, yang saya pikirkan adalah mencari pekerjaan sementara di Medan, jelang pendaftaran IM selanjutnya dibuka. Saya sempat mendatangi tempat bimbel untuk mengajukan diri jadi guru, namun tidak ada lowongan. Saya juga melamar sebagai reporter di sebuah media lifestyle lokal. Saya menghubungi pemred-nya langsung, menanyakan kabar tentang pengumuman, namun tidak pernah dibalas.

Saya mulai galau. Seorang sahabat kemudian menawarkan saya untuk ke Jatinangor tempat ia berada, itung-itung liburan, sekalian mencari kerja. Saya tergoda. Orangtua saya pun ternyata menyetujui.
Akhir bulan, saya pun mulai mengepak barang dan mengosongkan kamar yang sudah saya huni 5 tahun lamanya.

April. Bulan yang panjang. Awal bulan, saya mendapat panggilan interview, namun harus saya relakan karena rencana kepulangan sudah matang. Saya mengucapkan selamat tinggal pada Medan tanggal 10 April. Kembali menikmati masa-masa di rumah. 

Sama sekali belum fokus mencari kerja, tapi sempat memasukan satu lamaran untuk media lifestyle ibukota. Tepat satu minggu di rumah, saya mendapat panggilan. Ke Jakarta. Semua serba mendadak dan tidak terencana. Akhirnya saya berangkat dengan niat memulai hidup baru di ibukota, dan tidak berniat kembali dalam waktu dekat.

Tapi pelukan ibukota memang tak sehangat pelukan ibunda.

Hari pertama setelah interview, saya langsung jatuh sakit. Seminggu lamanya, dan tak ada tanda-tanda sembuh meski sudah berobat. Saya pun mau tak mau kembali. Berharap segera mendapat panggilan, dan bisa segera kembali.

Mei. Masa pemulihan. Awal bulan, ada banyak penyakit lain yang muncul, hingga saya harus bolak-balik rumah sakit. Pada akhirnya tidak ada panggilan kembali. Jakarta kembali jauh dari angan. IM kembali buka pendaftaran, namun saya abaikan karena masih belum terjadi perubahan signifikan dalam hidup saya sejak terakhir kali ikut tes. Saya masih belum siap mengabdi.

Tiap hari saya habiskan dengan menonton drama Korea yang sudah lama saya tinggalkan, membaca buku, bertemu teman-teman lama, dan menghabiskan waktu bersama keluarga.

Sempat down dan sedih dengan masa depan yang kelabu, namun seorang sahabat sukses membangkitkan segala kepercayaan diri saya untuk berusaha memaksimalkan segala potensi yang saya miliki.

Juni. Kembali ke Medan di awal bulan demi selembar ijazah dan urusan yang belum terselesaikan. Lalu Ramadhan datang. Saya memutuskan untuk kembali mencari kerja setelah lebaran. Masa-masa yang masih saya habiskan dengan menonton dan membaca buku, mulai belajar bahasa Inggris kembali meski belum disiplin, dan yang paling penting, belajar masak. Menemukan ketertarikan baru lagi dengan lettering, hobi lama yang sudah lama dilupakan.

Juli. Ada banyak reuni, dan rasanya menyenangkan bertemu teman-teman yang banyak memberikan saran. Juga penumbuh semangat dengan mereka yang seperjuangan.

Mulai jarang nonton drama, berusaha fokus belajar Bahasa Inggris. Membuat akun khusus lettering yang cukup menyita banyak waktu dan perhatian, tapi menyenangkan. Sesekali saya  masih membuat scrapbook.

Lalu datang bulan ini. Bulan penuh harapan. Mulai kembali fokus mengirimkan lamaran, yang semoga disertai kabar baik. Kembali galau beberapa hari yang lalu, tapi berusaha menyemangati diri sendiri dengan  mulai membaca buku motivasi yang lumayan membantu.

Pada akhirnya tidak ada waktu yang sia-sia. Delapan bulan ini tetap punya cerita. Lewat tulisan ini saya ingin berhenti menyalahkan diri sendiri akan waktu yang saya rasa terbuang, atau rencana-rencana yang tak sesuai harapan, dan kegagalan menjalankan jadwal yang sudah saya buat setiap hari.

Bahkan masa galau, atau memilih untuk tidak melakukan apa pun seharian karena tidak mood juga adalah waktu produktif. Setidaknya masa-masa itu membuat saya berpikir banyak untuk masa depan. Tidak ada yang perlu disesali. Tiap hari harus dinikmati sebaik mungkin.

Masih ada 22 hari lagi. Harapan itu selalu ada. Saya tidak boleh menyerah. Semangat!

-080815-
((Semoga ini bulan terakhir, aamiin (: ))

Komentar