mengASIhi
Dulu sebelum melahirkan, aku hanya fokus pada proses persalinan dan sama sekali tidak mencari tau tentang proses menyusui, apalagi mendatangi konselor laktasi meski beberapa teman sudah menyarankan.
Pikirku, menyusui adalah sebuah proses natural, antara ibu
dan anak, seperti para binatang yang bisa langsung menyusu saat baru lahir.
Terlebih, tak banyak cerita tentang ‘sulitnya’ menyusui yang ku dapatkan.
Selama ini aku lebih banyak terpapar gambaran tentang betapa sulitnya
melahirkan, jadi ku kira melahirkan adalah puncak berjuangnya aeorang ibu,
namun ternyata menyusui jauh lebih susah dan melelahkan.
Ibaratnya, sakitnya melahirkan hanya ku rasakan semalam dan
plong setelah bayinya keluar, meski proses penyembuhannya juga sakit dan
melelahkan. Namun, walau rasa sakit dan lelahnya tidak sebesar waktu
persalinan, menyusui menghabiskan DUA TAHUN kehidupanku dengan segala pahit
manisnya.
Maka dari itu perjalananku meng-ASI-hi perlu diabadikan
salam tulisan.
Masa kehamilan
Kolostrum pertamaku muncul di kehamilan 27 minggu, cukup
cepat dan normal untuk seorang ibu hamil. Setelahnya hingga persalinan,
kolostrumku sering muncul.
Persalinan
Tepat setelah bayiku lahir, aku tau seharusnya ada proses
Inisiasi Menyusui Dini (IMD) saat bayi mencoba belajar menyusu. Namun dalam
kasusku, bayi hanya ditempelkan di dada tanpa mencoba untuk menyusu.
Aku tak begitu ingat kapan tepatnya pertama kali aku
menyusui bayiku, namun saat itu aku hanya kesulitan untuk mengatur posisi
menyusui. ASI-ku sendiri lancar, bahkan saat di-pumping pertama kali karena
bengkak di hari pertama setelah melahirkan, aku bisa menghasilkan sekitar 40
ml.
Ada konselor laktasi yang berkunjung mengajari cara
menyusui, juga aku sempat dipijat (dan diajari cara pijat) untuk memperlancar
ASI, sehingga aku merasa tidak ada masalah untuk menyusui ke depannya.
Newborn (0-2 bulan)
Sekitar lima hari pertama setelah Kina lahir, aku menyusui
dengan aman meski badan super kelelahan. Mimpi buruk pertama muncul di hari
keenam, saat putingku mulai lecet dan sakit tiap kali menyusui. Aku mulai
mencari tau di internet cara menyusui anti lecet, bertanya ke sana kemari, tapi
hasilnya nihil. Panik, karena anakku harus dikasih ASI, tapi juga merasa lelah
luar biasa dengan segala kehidupan baru ini.
Momen ini kayaknya yang membuatku baby blues.
Sakit setelah persalinan belum pulih, darah nifas terus mengalir, tidak bisa tidur dan sekarang harus kesakitan untuk menyusui. Aku merasa, kenapa semua beban ini harus diampukan padaku seorang? Mengapa suamiku bisa tetap menjalani hidup dengan normal tanpa ada perubahan dalam fisiknya?
Aku baru tau ternyata ada istilah-istilah: pelekatan,
flat nipple, tip tounge dll dll; sampai aku hapal semua teorinya tapi tidak
bisa mempraktekkannya. Aku juga bingung, bagaimana bisa mulut bayi yang sekecil
ini dipaksa menganga lebar untuk menyusu?
Suamiku bahkan udah bersiap untuk beli sufor karena kasihan
liat aku yang kesakitan dan bayi yang kelaparan.
Tapi aku menguatkan hati dan berkat dorongan dari
teman-teman yang mengatakan ini hal yang lumrah, untuk meyakinkan diri bisa
mengASIhi selama dua tahun penuh, karena ASI-ku ada dan tidak ada masalah
medis.
10 hari setelah Kina lahir, kami pun ke konselor laktasi.
Setelah dijelaskan berbagai teori menyusui (yang sudah kuhapal itu), aku jadi
bisa praktek langsung, dikasih opsi menyusui dengan cara cross cradle
(bayinya ditaruh disamping dengan harapan tidak sesakit kalau dari depan) -
yang tentu saja sampai rumah tidak bisa dipraktekkan lagi, sehingga drama
puting lecet dan berdarah-darah hingga berurai air mata itu terulang kembali.
Beruntung konselor laktasinya baik banget dan bisa dihubungi di luar waktu
konsultasi.
Aku juga membeli berbagai krim anti lecet, yang setelah
dioles bakal sakit lagi pas bayi menyusu. Pokoknya aku stres berat, berasa ingin
kabur, dan paham kenapa banyak ibu-ibu baru banyak yang stres bahkan bunuh diri
karena merasa sendirian dan amat menderita. 😟
Ohya, sakitnya kayak disilet..bayangin sehari bisa 10x
disilet.
Tapi selain mendapat penguatan dari teman-temanku, aku juga
berterima kasih pada komen ibu-ibu Tiktok yang pada bilang ‘lecet itu bakal
sembuh berkat anaknya’, ‘makin sering disusuin lecetnya bakal hilang’;
meskipun di otakku yang sudah tidak sabar selalu bertanya ‘kapan? berapa lama
bakal hilang?’ Tapi mengetahui apa yang aku alami sudah dilalui banyak orang
memicuku untuk tetap bertahan.
Seminggu kemudian, saat Kina berumur 15 hari, kami ke
konselor laktasi lagi untuk pengecekan, dan ternyata BB-nya seret. Aku
disarankan untuk pumping dan memberikan ASI via cup feeder
setelah Direct Breast Feeding (DBF), sebagai bentuk booster
karena khawatir selama menyusu langsung penyerapan ASI dari bayi tidak
maksimal.
Sebuah tantangan baru, karena pemberian ASI dengan cup
feeder tentu tidak gampang, tapi aku baru tau (lagi) kalau pemberian dot
sebaiknya dihindari karena memiliki berbagai efek seperti masalah oramotor
bayi, kebutuhan ASI yang jadi meningkat, bingung puting dll.
Ohya karena saat itu aku masih cuti hamil, aku tidak
mempersiapkan beli alat pumping dengan asumsi alat pumping
dibutuhkan pas kerja saja. Sebuah kesalahan karena harusnya alat pumping sudah
ada dari awal melahirkan sehingga bisa mengatasi masalah tak terduga begini.
Masalah berikutnya adalah pumping dalam keadaan
puting lecet. Sakit yang berbeda dan bikin stres juga. Tapi lagi-lagi aku
bertanya ke sekitar dan mereka menceritakan pengalaman yang sama nyerinya: ada
yang ASI-nya sampai pink karena ternyata udah bercampur darah, ada yang
putingnya sampai di-plester karena lecet parah habis pumping. Yang
membuatku jadi kayak..oh ya ternyata ini hanya penderitaan lainnya yang harus
dijalani.
Kurangnya pengetahuanku terhadap serba serbi ASI juga membuatku beberapa kali menggigil, karena ASI-ku penuh. Aku kira dulu makin penuh ASI makin bagus untuk persiapan menyusu berikutnya, ternyata ku ketahui belakangan kalau ASI harus dikosongkan sesering mungkin biar gak mampet. Aku masih beruntung karena ASI-ku tidak sampai tersumbat hingga mastitis.
Minggu ketiga, aku mulai terbiasa dengan menyusui secara cross
craddle, pumping, dan mulai bisa menata hidupku kembali. Satu puting masih
lecet parah, jadi aku hanya menyusui dengan satu PD dan pumping dengan PD
lainnya.
Minggu keenam, perlahan-lahan lecetku mulai hilang dan aku
bisa menyusui dengan nyaman. Aku tidak terlalu sering lagi pumping dan fokus
DBF. Minggu ketujuh, aku mulai belajar menyusui dengan posisi normal dari depan
(lupa istilahnya apa). Kina bahkan sudah melakukan perjalanan darat dan bisa
menyusui di atas mobil. Masa kritis sudah terlalui.
Akhir cuti hamil (2-3 bulan)
Menjelang cuti hamilku berakhir, aku mulai mempelajari
tentang ASIP - karena tidak mau kecolongan seperti waktu pertama kali lahiran.
Aku belajar banyak dari Youtube Momuung karena penjelasannya detil dan mudah
dicerna.
Aku mulai pumping dan menyetok ASIP, mempelajari tata cara
menyetok dan menghangatkan ASIP, volume pemberian ASIP dll; juga mengajari
kembali Kina minum dari cup feeder, namun sayangnya Ibuku merasa sulit
untuk memberikan ASIP via cup feeder. Jujur sebenarnya pengen ideal tidak
pakai botol karena berbagai kekhawatiran, namun harus menurunkan ekspektasi
karena tidak mau membebani Ibuku.
ASI Eksklusif (3-6 bulan)
Saat kembali bekerja, aku beruntung masih bisa bekerja hybrid,
3 hari di rumah dan 2 hari di kantor. Maka selama bekerja dari rumah, aku
sebisa mungkin DBF - biar ASI-ku tetap lancar dan pastinya ada bonding
terus dengan Kina. Sebenarnya aku banyak mencari tahu tentang pentingnya DBF
(yang sulit untuk dijabarkan satu per satu), intinya aku memegang prinsip
selagi bisa DBF, maka aku akan DBF kapan pun di mana pun. Apalagi aku tidak
punya masalah medis dan masih mampu DBF.
Alhasil Kina tidak terlalu sering minum ASIP dari botol.
Saat bekerja full dari kantor pun, aku tetap memberikan DBF di malam hari. Untungnya
Kina juga tidak bingung puting, jadi walaupun sehari bisa pindah-pindah dari
DBF ke botol, dia tetap bisa menyusu dengan baik.
Aku juga menikmati momen DBF dengan Kina, BB-nya juga
meningkat pesat bahkan pernah mengalami kenaikan 1,5 kg dalam waktu satu bulan.
MPASI era (6 bulan - 24 bulan)
Memasuki masa MPASI, dua bulan pertama aku tidak menemukan
masalah karena Kina makan dengan lancar dan tetap menyusu seperti biasa.
Saat Kina berusia 8 bulan, aku berhenti bekerja sehingga
setelahnya Kina kembali full DBF.
Memasuki usia 9-10 bulan, Kina mulai sering GTM - porsi
makannya super sedikit, mungkin karena tumbuh gigi atau karena tekstur makanan
juga (cerita khusus tentang MPASI mungkin akan muncul di lain waktu).
Tapi aku tetap santai karena BB-nya masih normal.
Memasuki bulan ke 11 hingga 16 bulan, BB-nya seret bahkan
TB-nya stuck selama 3 bulan.
Sebenarnya aku sudah tau permasalahan utama Kina susah makan
adalah: masih aktif dan kebanyakan menyusu. Aku tidak bisa mengatur jadwal
lapar dan kenyangnya, masih memberikan ASI on-demand, yang seharusnya
mulai dikurangi saat MPASI dimulai. Namun karena sudah terlalu lama, tentu
tidak mudah bagi Kina beradaptasi.
Aku sampai berkonsultasi dengan DSA, bertanya bagaimana
strategi yang baik untuk mengurangi jatah ASI. Jujur, aku tidak tega harus
membiarkan Kina nangis-nangis, plus orang sekitar pasti ikutan stres, namun DSA
bilang: biar saja nangis sampai bisa menyesuaikan.
Maka bulan selanjutnya, aku belajar memberikan ASI secara
berjarak meski harus drama nangis-nangis, dan akhirnya berhasil. Meski makan
Kina masih naik turun lahapnya, tapi setidaknya aku berhasil membuatnya tidak
terlalu banyak menyusu sepanjang hari.
Masalah kembali muncul saat Kina berusia 18 bulan. Kina
sakit (Kina jarang sekali sakit, terakhir sakit tahun sebelumnya) dilanjutkan
dengan mudik 15 jam keluar kota yang akhirnya membuatnya hanya ingin menyusu
terus terusan. Selama mudik, Kina juga menolak makan dan hanya menyusu,
sehingga BB-nya turun lagi.
Di usia 18 bulan juga, akhirnya aku memutuskan memberikan
Kina sufor - dengan berbagai pertimbangan: karena makannya sedikit, tidurnya
jadi tidak nyenyak, jadi aku mulai kasih sufor sebelum tidur dengan harapan dia
lebih kenyang. Juga sebagai persiapan sebelum menyapih 6 bulan lagi. Namun
sufor di sini bukan sebagai pengganti ASI & MPASI, hanya pelengkap dan
volume pemberiannya pun sedikit, cuma 50 ml sebelum tidur.
Pulang mudik, pelan-pelan Kina mulai mau makan dan mulai
jarang menyusu, meski aku juga tidak seketat sebelumnya, tetap kasih on
demand karena berpikir sebentar lagi akan disapih.
Sleep Training
Selain masalah makan, masalah lain yang ditimbulkan oleh ASI
on-demand adalah masalah tidur. Sama seperti aku kecolongan karena tidak
menjarakkan waktu ASI saat mulai MPASI, aku juga terlewat untuk mengajarkan self-soothing
untuk Kina saat tidur, karena selama ini tidur selalu dengan ASI, dan terbangun
malam pun tetap menyusu.
Padahal, bayi 6 bulan yang sudah MPASI sudah tidak perlu
lagi ASI di malam hari dan bisa diajarkan tidur sendiri. Aku melewatkan momen
ini, dan saat usia Kina belasan bulan, sudah sulit untuk mengajarinya.
Alhasil, ada malam-malam (kayaknya 15 bulan ke atas) di mana
aku begitu tersiksa karena Kina bisa bangun 3-4 kali tapi tidak tidur-tidur,
maunya menempel terus sambil ngempeng yang bikin tidak nyaman dan aku juga tidak
bisa tidur. Kadang tidur siang pun juga mengalami masalah yang sama.
Aku juga mencari tahu bagaimana cara mengajarkan balita
tidur sendiri. Ada berbagai metode, tapi yang pasti mereka pasti akan
nangis-nangis dulu. Lagi-lagi aku tak tega ditambah tidak ada tenaga mendengar
tangisannya kalau tidak dapat ASI jadinya menyerah lagi dan lagi. Entah mana
yang lebih melelahkan: mendengarkan dia menangis atau menyusuinya lagi dan lagi
sampai tertidur.
Pikirku, karena udah terlanjur, mari bertahan saja sampai
saatnya menyapih nanti.
Memasuki usia 22 bulan, saat makan Kina membaik, tidurnya
juga lebih nyenyak. Hanya terbangun sekali waktu malam dan segera tidur lagi.
Akhirnya momen yang aku nantikan tiba juga. Aku sudah sounding
ke Kina sejak 6 bulan sebelum kalau saat dia berusia 2 tahun nanti, dia tidak
akan menyusu lagi, dan terus dihitung mundur hingga ulang tahunnya yang kedua.
Mengingat tak ingin merusak hari ultahnya (yang jatuh di
hari Rabu), aku menggenapkan menyusui Kina hingga hari Minggu.
Jujur, kekhawatiran terbesarku adalah bagaimana Kina akan
tidur, karena selama ini sangat jarang dia bisa tidur sendiri. Kayaknya kurang dari
10x, biasanya juga ketiduran di motor atau karena digendong pas lagi di luar.
Apalagi dari momen-momen sebelumnya, dia akan nangis kejer
dan lama kalau tidak dikasih ASI. Aku sudah sedih duluan membayangkan berapa
lama waktu yang akan dia habiskan untuk menangis?
Senin, 7 Oktober 2024 - pukul 8 pagi, setelah
Kina bangun tidur, ia menyusu untuk terakhir kalinya (’:
Jam 12 siang, ia menangis karena jam tidur siang tapi tidak
bisa menyusu. Aku ikutan menangis karena sedih melihat dia nangis. Tapi
ternyata nangisnya cuma 15 menit sebelum akhirnya dibujuk nonton Youtube dan
minum sufor. Lanjut makan siang, Kina kekenyangan dan ngantuk hingga akhirnya
tertidur jam 3 sore.
Jam 5 sore, habis belanja di supermarket, Kina minta menyusu
lagi tapi langsung dialihkan dengan susu UHT kotak dan dia terima saja tanpa
menangis.
Jam 7 malam, biasanya ini jadwal Kina menyusu setelah makan,
dia minta menyusu lagi sambil ketawa-ketawa, tapi setelah ditolak dia langsung
paham. Bangun tidur yang biasanya menyusu dulu, dia juga nangis, tapi malah
minta sesuatu yang lain.
Momen terberat tentu saja di malam hari. Dari jam 9 malam,
bolak balik digendong, main, minum susu, duduk, tidur, duduk lagi, tidur lagi -
Kina bingung bagaimana caranya tidur.
Selama ini selalu menyusu dan tidur jam 10-11 malam. Ia
bertahan hingga jam 12 malam, dan setelah menahan seharian akhirnya dia nangis
juga. Aku ikutan nangis lagi. Tapi hanya sebentar dan setelah ditenangkan, dia
akhirnya tidur sendiri tanpa digendong.
Hari kedua disapih, Kina sama sekali tidak minta menyusu
lagi. Ia menolak tidur siang, tapi akhirnya ketiduran di atas motor. Malam hari
polanya sama seperti hari sebelumnya, tapi yang bikin sedih pas akhirnya dia
tertidur, dia tiba-tiba bangun dan nangis tanpa bilang apa-apa. Seolah-olah dia
tau kalau minta pun pasti tidak akan mendapat apa-apa. Berusaha berdamai tapi
sedih tapi tidak bisa mengungkapkan (‘:. Jadinya aku gendong hingga tidur lagi.
Hari ketiga dan keempatmasih menolak tidur siang, tapi
hari-hari selanjutnya sudah bisa tidur jam 2-3 siang dengan digendong. Malam
hari juga sudah tidak banyak drama, tapi tetap menolak tidur dan baru bisa
tidur jam 12 malam.
Hingga tulisan ini muncul, kehidupan Kina sudah kembali normal. Tidak pernah lagi menangis, hanya masih sulit untuk tidur hingga butuh 1-2 jam untuk menidurkannya dengan segala drama yang masih bisa dihadapi. Juga tidak pernah lagi bangun saat tidur (biasanya kebangun 1-2 kali tiap tidur).
Aku tidak menyangka ternyata menyapih Kina tidak sedrama
yang aku bayangkan. Aku pribadi juga tidak merasakan efek apa-apa seperti PD
bengkak atau demam seperti yang banyak orang rasakan.
Perasaanku juga campur aduk setelah menyapih. Sedih karena tak
ada lagi momen menyusui Kina, padahal selama ini aku selalu merasa lelah dan tidak
sabar untuk segera menyapih. Namun ternyata saat momen itu tiba, aku merasa
kehilangan separuh aku. Ada perasaan tak lagi dibutuhkan Kina, dan
mempertanyakan eksistensi diri sendiri karena setelah tak lagi menyusui Kina,
aku ini hidup untuk apa?
Bukan hanya Kina yang memasuki babak baru kehidupannya, tapi
aku juga kembali menata hidupku sendiri. Memikirkan
hal-hal yang dulunya ingin aku lakukan tapi tak bisa karena menyusui.
Demikianlah perjalananku meng-ASIhi Kina. Sebuah perjalanan
yang panjang tapi juga bermakna. Dulu aku sama sekali tidak paham mengapa
orang-orang menyebutnya mengasihi. Ternyata memang harus penuh kasih,
kesabaran, dan kebesaran hati yang luar biasa untuk melakukannya demi buah hati.
Aku tak tau apakah di masa depan akan menyusui lagi atau
cukup sampai di sini. Namun pengalaman pertama ini akan menjadi kenangan tak
terlupakan seumur hidupku.
Komentar
Posting Komentar