Dua Tujuh, lalu bagaimana?
Akhirnya tulisan ini terbit juga setelah aku
hidup selama 27 tahun, 3 bulan, 20
hari. Sebuah bentuk selebrasi yang terlambat dalam rangka tradisi refleksi diri
setiap aku bertambah umur.
Sama seperti aku tidak sadar saat dilahirkan,
aku juga tidak sadar sudah 27 tahun hidup di dunia ini. Kalau dipikir-pikir,
sudah cukup lama juga aku bernapas dan menumpang hidup di bumi. Pertanyaannya
selalu sama: Apa saja yang sudah dicapai sejauh ini?
Sejujurnya, sama seperti kebanyakan orang, aku
juga termasuk golongan yang mengukur segala pencapaian berdasarkan umur.
Lulus kuliah di umur 22 tahun.
Mendapat kerja pertama di umur 23 tahun.
Melanjutkan studi di umur 25 tahun.
Menikah di umur 26 tahun.
Dan seterusnya...
Pikirku, pasti ada alasan mengapa umur-umur
tersebut menjadi tolak ukur yang ideal untuk
pencapaian hidup seseorang berdasarkan berbagai macam faktor. Namun yang
terjadi dalam timeline hidupku justru
seperti ini:
Lulus kuliah di umur 22 tahun.
Mendapat kerja pertama di umur 24 tahun.
Dan lain-lainnya belum ada kemajuan.
Dulu aku akan beralibi dengan berbagai
macam alasan mengapa yang lain-lain itu belum ada kemajuan. Aku juga banyak
menyalahkan diri sendiri mengapa aku tak bisa berbuat lebih banyak agar target
tersebut tercapai. Aku juga selalu membanding-bandingkan diri sendiri dengan
orang-orang seumuranku yang telah mencapai ini itu. Aku juga iri pada mereka yang lebih muda, betapa masih panjangnya waktu untuk mereka mencapai segala sesuatu yang bagiku sudah lewat masanya.
Saat aku membaca lagi tulisanku pada usia
ke-25 dan ke-26, aku memang berupaya untuk menyampaikan hal-hal yang bernada
positif, namun sebenarnya perasaan tertinggal dari orang-orang lain seusiaku
itu tetap ada. Segala yang aku tuliskan lebih kepada bentuk sugesti diri
dibandingkan kesadaran penuh bahwa memang tidak apa-apa memiliki hidup yang
tidak sama dengan orang lain. Pada kenyataannya, saat menjalani rutinitas
harian, kadang-kadang tetap terbersit “kapan
ya aku begini, kapan ya aku begitu”. Aku merasa tidak dapat memanfaatkan waktu hidupku dengan baik sehingga aku tidak bisa mewujudkan segala rencana.
Pernyataan “semua ada waktunya” selalu aku telan bulat-bulat saat merasa
jatuh, tanpa benar-benar dapat memahami dengan penuh makna dari pernyataan
tersebut. Selalu ada pertanyaan lanjutan,”…tapi
kapan?” yang membuatku kembali depresi dengan kehidupan yang aku jalani.
Bukan berarti apa yang aku tuliskan di
masa lalu adalah sebuah kepalsuan, hanya saja momen itu masih diselingi dengan
perasaan-perasaan rendah diri yang dipicu oleh berbagai kejadian.
Namun di usia ke-27 ini aku akhirnya
berada pada kesadaran bahwa memang waktu adalah sesuatu yang tidak dapat dijadikan
acuan. Aku bisa saja mengatakan aku berumur 25 tahun, atau mengubah tahun
lahirku menjadi beberapa tahun lebih muda dan orang-orang akan percaya. Tidak
ada yang bisa ditentukan oleh waktu. Bahkan kematian pun tidak mengenal waktu.
Ia hanyalah alat ukur, namun bukan jadi satu-satunya pengukur.
Aku kini juga sepenuhnya sepakat bahwa
segala sesuatu sudah ada waktunya. Jika saat itu bukan waktu yang tepat, sekuat
apapun kita berusaha, hasilnya memang belum sesuai yang diharapkan.
Aku terperangkap dalam pekerjaan yang tidak
sesuai dengan minatku dan selalu ingin keluar setiap tahunnya, namun baru
terwujud setelah 3 tahun. Aku menghabiskan 7 tahun mencari orang yang tepat
untuk dijadikan pasangan namun tak pernah menemukan hingga aku memasuki tahun
kedelapan. Semua sudah kuusahakan, namun karena memang bukan waktunya, tidak
ada yang bisa dilakukan.
Dan tentu ketidakpastian waktu ini akan terus ada di
masa depan, namun tak apa.
Yang dapat dilakukan hanyalah berusaha dan berdoa. Juga fokus pada kehidupan saat ini dan diri sendiri.
Yang dapat dilakukan hanyalah berusaha dan berdoa. Juga fokus pada kehidupan saat ini dan diri sendiri.
Klise memang, tapi kalimat itu menjadi
klise karena terus menerus berulang namun pemaknaannya tidak segampang
dituliskan.
Belakangan juga aku merasa lebih santai
menjalani rutinitasku karena kepercayaanku pada rumus “semua ada waktunya”. Tidak
ada lagi pikiran “..tapi kapan” yang
selama ini membuat gusar. Kalaupun mengintip kehidupan orang-orang di media sosial,
aku tak lagi memikirkan kapan waktuku akan tiba atau mengapa aku tak bisa seperti itu saat masih seumur mereka, tapi ku anggap sebagai
hiburan satu arah yang tak perlu dipikirkan terlalu jauh. Pun aku juga paham,
semua orang mengalami kesulitannya masing-masing yang berbeda satu sama lain.
Demikianlah aku memaknai usia baruku tahun
ini. Dengan berkurangnya jatah hidup di dunia, aku jadi semakin ingin menikmati
setiap hari dengan lebih bermanfaat. Tentu saja, aku juga tak sabar dengan
petualangan-petualangan selanjutnya yang akan ditawarkan kehidupan.
![]() |
-231219-
12:51 PM
12:51 PM
Komentar
Posting Komentar