Bicara Tentang Penulis (Paling) Favorit: Winna Efendi
Winna Efendi mungkin tidak sekaliber Dee atau Ika Natassa
(meskipun beberapa karyanya juga telah difilmkan) yang
bahkan-orang-yang-belum-pernah-baca-buku-mereka-pun tau atau setidaknya pernah
mendengar nama mereka. Winna memang punya fans yang lebih segmented, kalau aku pribadi mengklasifikasikan: mereka penyuka
cerita cinta sederhana yang mellow dan sendu. Pun sosok Winna sendiri lebih
suka muncul lewat karya-karyanya dan tidak begitu aktif menujukkan diri di sosial
media. Bahkan di instagram pribadinya, tidak pernah ada foto diri apalagi
kehidupan pribadinya. Hingga sebagai penggemarnya aku cukup puas mengenalnya sebagai
penulis saja.
Buku pertama Winna yang aku baca adalah Ai, yang aku baca pas SMA, hasil pinjaman dari seorang teman. Waktu
itu aku masih menyukai cerita Winna sama seperti aku menyukai cerita-cerita
lain.
Lalu muncul Refrain.
Itu adalah buku pertama Winna yang aku beli. Alasannya: karena aku kenal nama
penulisnya berkat Ai, dan cover buku
dengan amplop biru yang menurutku sangat menarik. Refrain juga mengusung tema yang sama, persahabatan jadi cinta.
Lalu, muncul buku Winna yang benar-benar membuatku jatuh
cinta dan setelah itu jadi penggemar beratnya. Unforgettable.
Buku itu tanpa sengaja aku temukan di Gramedia. Tanpa
berniat membeli, aku membuka buku itu dan saat membaca halaman pertamanya,
perhatianku langsung tersedot dan aku merasa seperti berada di dimensi yang
berbeda. Mungkin deskripsiku berlebihan, tapi aku yakin tiap orang yang suka
membaca buku, pasti punya daftar buku yang membawanya larut dalam cerita buku
tersebut hingga lupa diri. Dan bagiku Unforgettable
adalah salah satunya.
Aku langsung membeli buku itu dan hingga saat ini, buku itu
adalah buku favoritku dari Winna Effendi. Aku suka semua elemen ceritanya. Ide,
konflik, karakter tokoh, latar. Hanya berkisah tentang dua orang yang saling
tidak mengenal di sebuah kedai wine,
lalu mereka saling bertukar cerita di tempat itu setiap malam. Pun gaya
penulisan Winna di buku itu benar-benar beda dari buku-buku sebelumnya. Padahal
Unforgettable adalah buku Winna
dengan jumlah halaman yang paling sedikit dari yang lain, tapi keseluruhan bukunya
menurutku benar-benar bagus. Bahkan ending-nya
sesuatu yang tidak biasa.
Setelah membaca Unforgettable,
aku langsung berburu buku sebelumnya yaitu Remember
When, dan tak pernah ketinggalan membeli semua buku sesudahnya. Truth or Dare, Melbourne, Tomodachi, Happily
Ever After, Girls meet Boys, One Little Thing Called Hope, hingga yang
terakhir Some Kind Of Wonderful.
Karena membaca seluruh karyanya, tentu tak semuanya aku
sukai. Happily Ever After dan Girls Meet
Boys menurutku semacam penurunan dari karya Winna yang sebelum-sebelumnya.
Namun semua terselamatkan dengan kehadiran Some Kind of Wonderful yang menjadi
favoritku selanutnya setelah Unforgettable.
Buku ini terasa lebih well prepared dan
benar-benar menunjukkan kematangan Winna sebagai penulis.
Buku ini pula yang akhirnya mengantarkanku bertemu dengan
Winna awal Februari lalu, dalam acara book
launch Some Kind Of Wonderful di Gramedia.
Akhirnya, setelah membaca bukunya, blognya, mengikuti
twitter dan instagramnya, dan hanya melihat rupa wajahnya di bagian belakang
profil bukunya, aku bertemu Winna Efendi secara pribadi. Dan seperti hampir
kebanyakan tokoh dalam bukunya, ia tak begitu banyak bicara dan tampil
apa-adanya.
Susah menjelaskan perasaanku waktu itu. Excited, penasaran, senang, haru. Pertemuan itu pula yang membangkitkan
kembali keinginanku untuk menulis dan menjadi penulis, yang sudah terkubur
sangat lama, sebuah mimpi masa muda yang belum terwujud jua.
Setelah mebaca bukunya dari SMA hingga kini sudah bekerja,
rasanya aku ikut bertumbuh bersama buku-buku Winna. Kalau ditanya apa yang
paling aku suka dari Winna Efendi adalah, gaya penulisannya. Kekuatan Winna adalah dari kata-katanya. Ia bisa mengubah ide cerita yang biasa jadi sesuatu yang berbeda. Tiap kali baca
bukunya yang tercetus adalah : ini aku
banget! Susah sekali menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan
bagaimana ia menulis: intinya, ketika kau membaca bukunya, kau seolah dibawa
dalam sebuah perjalanan dengan pelan, tenang, dan tidak terburu-buru, (hingga
mungkin terkesan membosankan bagi sebagian orang) hingga kau bisa menikmati keseluruhan cerita
tanpa ingin melewatkan satu huruf pun. Dan jujur, Winna Efendi adalah
inspirasiku dalam menulis, dan tanpa sadar mempengaruhi gayaku menulis.
Kalau pernah baca tulisan-tulisanku yang lain di blog ini,
dan pernah membaca buku Winna, akan sangat mudah dirasakan betapa aku sangat ter-influence dengan gaya menulis Winna meski
tentu tetap ada beda. Bukannya memaksakan diri agar menjadi seperti Winna
Efendi, namun kadang setiap aku menulis semuanya mengalir begitu saja secara
otomatis. Mungkin buku-buku Winna Efendi memang sudah mempengaruhiku sedemikian
rupa hingga tanpa sadar saat menulis pun aku terbawa suasana seperti sedang
membaca bukunya Winna.
Suatu hari di masa depan, aku berharap bisa bertemu lagi
dengan Winna tak hanya sebagai penulis-penggemar, tapi sebagai penulis
senior-penulis junior yang bernaung di bawah penerbit yang sama. Suatu hari
nanti.
P.S Tulisan ini adalah bentuk apresiasiku pada sosok Winna Efendi dan karya-karyanya. Niat menulis tentang Winna sebenarnya sudah ada sejak aku nonton premier film Refrain 4 tahun lalu, namun sempat tertunda dan sepertinya momen bertemu dengan Winna untuk pertama kalinya adalah momen yang tepat untuk mencurahkan segala kekagumanku padanya. Terimakasih telah menulis, Kak Winna! (:
Komentar
Posting Komentar